Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

[Cerpen] Luka dalam Setangkai Bugenvil

Ilustrasi diambil dari pinterest/dhanartofficial

Kabut masih terlelap diujung rerumputan, tetapi sepasang kaki Diva sudah dua-tiga kali melintasinya. Dengan riang, gadis berusia di awal 30-an itu hilir mudik melintasi rumput di samping rumah seraya menyirami bugenvil-bugenvil aneka warna dengan sebuah gembor berwarna kuning terang.

Oh… bunga bugenvil, lekaslah mengembang… ku ingin memetik dikau…,” sesekali Diva berdendang, melantunkan sebuah lagu lawas. Lagu berjudul “Bunga Mawar” yang liriknya sedikit ia modifikasi. Lirik yang tadinya menyebut bunga mawar, ia ganti menjadi bunga bugenvil.

Lalu, usai menyirami bugenvil yang merambat cantik di tiang-tiang samping rumah yang dibuat secara khusus satu dasawarsa lalu, Diva dengan telaten menyiangi bunga-bunga yang terlihat bak kertas itu. Ia menyisihkan bunga-bunga bugenvil yang terlihat layu dan kering ke dalam sebuah wadah kecil.

Setelah itu, dengan tekun ia menyapu bugenvil yang berguguran di lantai. Meski jumlahnya tidak banyak karena bunga-bunga yang nyaris layu rutin ia siangi, ia selalu terburu-buru membersihkan bunga-bunga yang berjatuhan tersebut. Takut keburu terbang ke segala arah. Takut berpindah tempat ke halaman tetangga.

Bukan, bukan merasa takut tetangga merasa terganggu. Tetangga kiri-kanan rumah Diva bukan tipe tetangga yang seperti itu. Hanya saja, Diva tidak ingin bunga-bunga itu berpindah tempat. Ia ingin bunga yang sudah ia rawat sejak sepuluh tahun lalu tetap berada di rumahnya. 

Diva ingin bunga yang masih segar tumbuh rimbun merambat di tiang-tiang yang dibuat khusus dengan indah, sementara yang sudah layu dan berguguran tertanam di tanah yang berjarak beberapa meter dari akar-akar pohon bugenvil tersebut. Terkubur ditanah galian yang ia keruk cukup dalam.

Ia ingin menjaga bunga-bunga bugenvil tersebut, baik dalam keadaan segar maupun layu, tetap berada di rumahnya. Tidak kemana-mana. Sama seperti ia menjaga hatinya untuk pria yang memberinya benih bugenvil itu satu dekade lalu untuk Diva tanam dan rawat selama sang lelaki tidak ada di sisi Diva. 

***

“Selama apapun itu, tolong tunggu aku,” ucap Dani satu dasawarsa lalu. Saat ia memutuskan untuk pergi merantau sebagai buruh migran ke Negeri Sakura. Kebetulan saat itu ada lowongan sebagai tenaga kerja berketerampilan spesifik untuk lulusan SMK. Kebetulan juga cocok dengan kualifikasi yang dimiliki Dani. Pria yang sudah dua tahun menjalin hubungan khusus dengan Diva.

Meski berat, saat itu Diva terpaksa meluluskan keinginan Dani. Benar kata Dani, kesempatan emas seperti itu belum tentu datang dua kali. Selain itu, Dani butuh uang untuk melamar Diva. Apalagi Diva sudah hampir lulus kuliah dari salah satu perguruan tinggi swasta di kota tempat mereka tinggal.

Bila hanya mengandalkan penghasilan Dani sebagai montir di salah satu bengkel motor, entah kapan ada uang lebih untuk bekal mereka menikah. Apalagi Dani merupakan tulang punggung keluarga. Ada adiknya yang masih SMP, dan ibunya yang janda dan tak kuat lagi untuk mencari nafkah.

Setelah lulus kuliah, sebenarnya bisa saja Diva bekerja dan membantu mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk bekal mereka menikah. Namun, apa kata orangtua Diva nanti. Apalagi selama ini, meski tidak melarang secara eksplisit, keluarga Diva terlihat keberatan gadis semata wayangnya menjalin hubungan dengan Dani.

Hal tersebut sebenarnya wajar. Diva berasal dari keluarga terpandang. Ayah Diva merupakan salah satu pejabat teras di instansi pemerintah di kota tempat mereka tinggal, kedua kakak laki-laki Diva berprofesi sebagai anggota TNI di kesatuan yang berbeda. Satu di Angkatan Laut, satu di Angkatan Darat.

Sementara keluarga Dani termasuk keluarga yang terpinggirkan. Ayahnya hanya seorang buruh serabutan yang meninggal saat Dani duduk di bangku kelas III SMK. Ibunya tidak bekerja karena sering sakit-sakitan. Itu makanya walaupun tergolong memiliki otak yang cukup encer, usai lulus SMK Dani memilih bekerja di bengkel.

Bahkan saat mendapat beasiswa dari salah satu perguruan tinggi negeri, Dani tetap memilih bekerja. Ia harus membiayai sekolah sang adik. Ia juga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya, sang ibu dan sang adik. Dani memilih mengubur cita-citanya mendapatkan masa depan yang lebih cerah.

“Ini aku belikan bunga bugenvil, tolong rawat selama aku pergi,” ucap Dani sambil menyerahkan beberapa batang bunga bugenvil aneka warna yang ditanam dalam beberapa pot. Bunga itu ia berikan kepada Diva beberapa hari sebelum ia berangkat ke Jepang.

Bunga-bunga bugenvil yang di dalam pot tersebut, lalu Diva dan Dani tanam bersama-sama di samping halaman rumah Diva. Tak hanya itu, Dani juga membuatkan Diva tiang-tiang khusus untuk bugenvil tersebut tumbuh secara merambat kelak.

Waktu itu Dani mengatakan sengaja menghadiahi Diva bunga bugenvil. Tujuannya agar Diva tidak begitu risau menunggu Dani. Selama menunggu Dani kembali, Diva bisa merawat bunga-bunga kertas aneka warna itu. Apalagi bugenvil termasuk bunga yang mudah tumbuh. Selain itu, bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Walaupun Diva dan Dani baru menjalin hubungan khusus selama dua tahun, tetapi kedekatan mereka sebenarnya sudah lebih lama dari itu. Mereka dulu berteman karena bersekolah di SMP yang sama. Saat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka berpisah karena Dani melanjutkan ke SMK, sementara Diva ke SMA. 

Namun setelah sama-sama lulus sekolah, Dani dan Diva dipertemukan kembali secara tidak sengaja. Hingga akhirnya mereka semakin dekat dan menjalin hubungan yang mengarah ke jenjang pernikahan.

***

“Diva mau sampai kapan menunggu Dani?” ucap Ibu Warsiah, ibunda Dani, saat Diva berkunjung ke rumah perempuan berusia pertengahan 50-an tersebut. 

Sejak Dani merantau ke Jepang, secara berkala Diva selalu berkunjung ke rumah Ibu Warsiah. Apalagi ibunda Dani itu sekarang tinggal sendiri dan sakitnya semakin parah. Adiknya Dani merantau di kota sebelah, mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta. 

Sang ibu sebenarnya diajak, hanya saja Ibu Warsiah selalu menolak. Alasannya, ia takut tiba-tiba Dani pulang dan tidak menemukan satupun keluarganya di rumah peninggalan sang suami –ayahnya Dani.

“Selama apapun itu, Diva akan tunggu, Bu,” jawab Diva menirukan ucapan Dani yang memintanya menunggu.

“Tapi Dani sudah lama tidak ada kabar. Teman-teman kamu juga sudah pada menikah dan punya anak. Ibu takut disalahkan oleh keluargamu,” ujar Ibu Warsiah.

Diva tiba-tiba teringat ibunya. Setiap ada kesempatan, perempuan yang melahirkan ia ke dunia tersebut selalu mengomel, meminta Diva agar segera menikah. Sang ibu juga tak segan menjodohkan Diva dengan beberapa pria secara terang-terangan. Apalagi sejak satu windu lalu Dani tidak ada kabar. Ia seperti hilang ditelan bumi. 

Dani hanya memberi kabar kepada Diva dan  Ibu Warsiah di dua tahun pertama. Setelah itu, komunikasi terputus. Surel yang dikirimkan Diva tak lagi dibalas Dani, nomor ponsel tidak aktif, media sosial Dani juga menghilang. Satu-satunya yang membuat Diva dan Ibu Warsiah merasa Dani baik-baik saja karena setiap bulan Dani masih rutin mengirimkan uang ke rekening Ibu Warsiah dengan jumlah cukup besar.

Uang yang dikirim Dani tersebut digunakan Ibu Warsiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk biaya sekolah dan kuliah adik Dani, hingga biaya untuk merenovasi rumah. Alhasil, rumah Ibu Warsiah yang dulunya kumuh dan nyaris ambruk, kini terlihat kokoh dan megah.

“Tidak akan disalahkan, Bu, ini murni keputusan Diva. Sebagai bentuk rasa setia Diva pada Dani,” tegas Diva.

“Kalau kamu mau menikah, menikah lah, Nak. Kamu baik, cantik, berpendidikan. Tak adil menunggu Dani dalam ketidakpastian seperti ini. Kita juga tidak tahu, apakah Dani di Jepang sana masih setia menunggu kamu, apa malah sudah menikah,” nasihat Ibu Warsiah.

“Dani pasti setia menunggu Diva,” ujar Diva tegas.

“Ibu takut kamu keliru mengambil keputusan. Mumpung sekarang belum terlambat. Ibu takut, bertahun kemudian pun Dani tak juga pulang.”

“Dani pasti pulang, Bu,” ujar Diva menenangkan Ibu Warsiah.

***

Hari ini, bersamaan dengan jadwal Diva berkunjung ke rumah Ibu Warsiah, rumah Ibu Warsiah terlihat ramai. Ada banyak tetangga yang berkerubung di rumah yang dicat hijau tosca tersebut. Dari kejauhan sesekali terdengar gelak tawa yang cukup riuh dari beberapa orang.

Dengan ragu-ragu Diva mendekati rumah Ibu Warsiah seraya bertanya dalam hati ada acara apa gerangan. Biasanya sekecil apapun acara yang diadakan oleh Ibu Warsiah, perempaun yang sudah dianggap ibu sendiri oleh Diva tersebut selalu memberi tahu. Bahkan Diva diberi tahu jauh-jauh hari.

Assalamualaikum,” ucap Diva mengutarakan salam saat sudah berada di depan pintu masuk rumah Ibu Warsiah.

Beberapa tetangga Ibu Warsiah menyadari kehadiran Diva. Namun bukannya menyambut, ibu-ibu tersebut justru saling dorong satu sama lain. Seolah saling mengandalkan untuk menyambut Diva. Padahal biasanya saat rumah Ibu Warsiah ramai oleh tetangga karena sedang mengadakan acara, para tetangga berebut mempersilakan Diva masuk ke dalam rumah.

“Ada acara apa ya, Bu?” tanya Diva kepada ibu-ibu tersebut.

Ibu-ibu tersebut saling pandang satu sama lain sebelum menjawab pertanyaan Diva, “itu… mmm… anu Diva…. Dani pulang tadi siang.”

Diva terperanjat bahagia. Ia nyaris menghambur ke dalam rumah bila tidak ada ibu-ibu yang menghalangi.

“Maaf Diva, tapi Dani pulang sambil membawa anak dan istrinya. Orang Jepang. Anaknya dua, masih balita.”

Setelah mendengar kalimat tersebut, seketika Diva terlihat limbung. Ia tiba-tiba teringat bunga bugenvil yang selama ini ia rawat dengan baik. Ia teringat bunga-bunga tersebut tumbuh indah dengan rimbun melilit tiang-tiang di samping rumah. Bugenvil tersebut tumbuh subur, sama seperti rindu dan cintanya pada Dani. Setelah itu gelap, Diva tidak ingat apa-apa lagi. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *