Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

[Cerpen Anak] Rahasia Aluna

Ilustrasi diambil dari femina.co.id

“Aku mau bawa sate ayam pakai lontong,” ujar Aliya.

Ia bersama beberapa orang teman sekelasnya sedang mengobrol di sela waktu istirahat. Mereka membicarakan makanan yang akan dibawa besok.

Setiap Jumat, sekolah Aliya meminta siswa untuk membawa bekal makanan dengan jumlah yang sedikit berlebih. Hal tersebut dilakukan agar murid-murid terbiasa berbagi. Mereka biasanya diminta membawa makanan minimal tiga porsi.

Satu porsi untuk dimakan sendiri, satu porsi untuk dibagikan kepada teman sekelas, dan porsi sisanya akan diberikan kepada beberapa panti asuhan.

Sebelum jam pelajaran dimulai, para siswa akan menyetorkan makanan yang akan dibagikan ke teman sekelas dan panti asuhan ke wali kelas masing-masing di meja khusus yang disiapkan.

“Aku mau bawa spageti,” tukas Qaisa.

“Aku sih mau bawa roti isi pisang cokelat!” sahut Sofia.

“Kalau aku dan Mama sudah siapin cupcakes cantik, aku sendiri lho yang akan hias!” seru Aqila. “Kalau kamu, Lun, besok mau bawa apa?”

“Aku? Eh….” Aluna menjawab tergagap. Entah karena belum tahu apa yang akan ia bawa, entah karena ia gugup diperhatikan oleh keempat orang temannya.

“Iya kamu mau bawa apa?” tanya Aliya kepada Aluna.

“Jangan sampai kamu malah tidak masuk kayak Jumat kemarin,” belum sempat Aluna menjawab Qaisa sudah menimpali.

“Bawa ayam bakar saja, Lun, dulu kan kamu pernah bawa, enak lho,” usul Sofia.

Aluna tak menjawab. Ia malah terlihat murung. Hingga akhirnya terdengar bunyi bel. Tanda waktu istirahat telah usai.

Kriiiiiiing!!!!

Lalu Qaisa, Aliya, Aqila, dan Sofia sigap berlari ke arah kelas, meninggalkan Aluna yang masih termenung. Mereka langsung lupa dengan pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab anak berlesung pipi itu.

***

Aluna Nadira Santoso!

Ibu Widya, sang wali kelas, memanggil nama lengkap Aluna sambil melihat daftar hadir.

Namun, hingga dua kali guru berkacamata itu memanggil, tidak ada satu pun siswa yang mengacungkan tangan atau mengucap kata “hadir”.

“Luna sepertinya tidak masuk lagi…,” gumam sang guru.

Lalu, suasana kelas yang tadinya hening berubah menjadi gaduh.

“Mungkin Aluna sakit, Bu,” ucap Myiesha yang duduk di bangku paling depan.

“Kok sakit setiap Jumat?” timpal Hasna yang duduk tak jauh dari bangku Myiesha.

“Padahal kemarin Aluna terlihat baik-baik saja. Iya kan, Al?” ujar Qaisa seraya mengonfirmasi kondisi Aluna kepada Aliya.

“Mungkin ada keperluan keluarga,” tebak Sofia.

“Sudah…! sudah…! Ibu lanjutkan absen!” ucap Ibu Widya sambil kembali memanggil nama-nama siswa yang ada di daftar hadir.

Usai mengecek kehadiran seluruh siswa, Ibu Widya berdiri di depan kelas. Beliau menjelaskan mengenai jenis-jenis pekerjaan yang saat ini dipelajari siswa kelas IV di mata pelajaran Tematik.

“Kalau semua sudah paham, sekarang ceritakan secara tertulis pekerjaan orang tua masing-masing. Tulis di buku tulis ya, nanti ada beberapa perwakilan yang akan Ibu tunjuk untuk menceritakan secara lisan di depan kelas,” ujar Ibu Widya memberi tugas.

Lalu seluruh siswa di kelas IV SD tersebut sibuk menulis profesi dari orang tua masing-masing. Beberapa siswa ada yang berdiskusi. Kebetulan orang tua mereka memiliki jenis pekerjaan yang sama.

Ada lima orang siswa yang diminta menceritakan secara langsung pekerjaan orang tua mereka di depan kelas. Sofia salah satunya. Sofia menceritakan ayahnya yang berprofesi sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit swasta.

Bertepatan dengan Sofia yang selesai bercerita mengenai sang ayah, bel tanda istirahat berbunyi.

“Sudah waktunya istirahat,” ucap Ibu Widya yang disambut teriakan gembira seluruh siswa.

“Silakan kalian ambil makanan yang ada di meja sebelah kanan, jangan berebut, dimulai dari siswa yang duduk di bangku paling depan” lanjut Ibu Widya seraya mengawasi para murid yang mengantre untuk mengambil makanan tambahan yang tadi pagi sudah dikumpulkan di meja khusus di depan kelas.

“Pantas ya, Al, kemarin Luna bingung mau membawa makanan apa untuk hari ini, mungkin karena dia sudah berencana untuk tidak masuk,” ucap Aqiila kepada Aliya saat mereka sedang mengantre.

“Bisa jadi,” jawab Aliya.

“Ada apa ya, kok dia dua kali Jumat berturut-turut tidak masuk?” tanya Qaisa.

“Iya ada apa ya? Aluna tidak pernah bercerita? Atau mungkin….” sambung Sofia.

“Sudah, mungkin hanya kebetulan,” potong Aliya.

“Jangan-jangan dia betulan sakit,” tebak Aqilla.

“Bagaimana kalau nanti sepulang sekolah kita pergi ke rumahnya? Rumah Aluna tidak begitu jauh dari sekolah kan?” usul Aliya.

“Kita ke sana jalan kaki?” tanya Sofia.

Aliya mengangguk.

“Kalau jalan kaki lumayan jauh. Rumah Aliya di perumahan seberang sana,” ucap Sofia sambil menunjuk ke arah kanan sekolah.

“Ah, dekat itu. Sofia terlalu manja,” ujar Qaisa.

“Kalau begitu nanti sepulang sekolah kita tengok,” imbuh Aliya.

Duuuh aku tidak bisa ikut. Aku kan hari ini jadi perwakilan kelas untuk ikut menyerahkan makanan ke panti asuhan,” ucap Aqilla.

“Kalau begitu nanti kami bertiga saja,” kata Aliya.

“Jangan, nanti kita pergi setelah waktu asar saja. Kita kan harus izin dulu sama orang tua. Kalau tidak izin dulu, nanti orang tua khawatir karena kita terlambat pulang sekolah,” cegah Qaisa.

Aqilla, Aliya, dan Sofia mengangguk setuju. Sebelum ke rumah Aluna, mereka berempat sepakat berkumpul di rumah Qaisa terlebih dahulu. Rumah Qaisa jaraknya paling dekat dengan rumah Aluna.

***

Qaisa, Aqilla, Aliya, dan Sofia berjalan beriringan ke rumah Aluna sambil berbincang. Mereka mengobrolkan apa saja yang terlihat di sepanjang jalan, mulai dari bunga yang segar dan bermekaran di halaman-halaman rumah yang mereka lewati hingga deretan penjual makanan dan minuman yang menghiasi sudut-sudut jalan.

Alhasil, meski menuju rumah Aluna memerlukan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki dari rumah Qaisa, mereka berempat tidak merasa lelah. Qaisa, Aqilla, Aliya, dan Sofia malah senang karena berkesempatan untuk bersenda gurau di sepanjang jalan.

“Itu Aluna!” seru Sofia sambil menunjuk ke halaman sebuah rumah yang masih berjarak beberapa meter.

“Aluna!” teriak mereka berempat kompak sambil melambai-lambaikan tangan.

Namun, Aluna bukannya menjawab sapaan keempat temannya, ia malah bergegas masuk ke dalam rumah sambil menutup pintu rapat-rapat.

Lho, kok malah masuk ke dalam rumah?” tanya Aqilla bingung.

Mereka berempat lalu bergegas menuju rumah Aluna.

Asalamualaikum!” ucap Qaisa, Aqilla, Aliya, dan Sofia bergantian.

Lama tidak ada jawaban.

“Aluna!” teriak mereka berempat.

Namun, suasana tetap hening.

“Aluna kenapa ya?” tanya Aliya bingung.

Qaisa, Aqilla dan Sofia menggelang sambil mengangkat bahu.

“Mungkin dia tidak bersedia kita tengok,” ujar Sofia.

“Kalau begitu kita pulang saja,” ajak Qaisa.

Saat mereka berempat membalikan badan dan beranjak pergi, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.

“Teman-teman…,” terdengar suara Aluna yang tertahan.

“Luna…,” ucap Aqilla.

“Ayo masuk dulu,” Aluna mempersilakan mereka berempat masuk ke dalam rumah.

“Maaf ya rumah aku tidak sebagus rumah-rumah kalian,” lanjut Aluna.

Qaisa, Aqilla, Aliya, dan Sofia saling pandang tidak mengerti. Namun, rumah Aluna memang terlihat sangat sederhana. Bahkan di ruang tamu tidak ada kursi, hanya ada tikar yang dihamparkan.

“Kamu sendirian di rumah?” tanya Aliya mengalihkan pembicaraan.

Aluna menggelang. “Ada adikku sedang tidur di dalam kamar.”

“Luna kenapa hari ini kamu tidak sekolah?” tanya Aqilla.

“Kamu sakit ya?” sambung Qaisa.

“Atau ada urusan keluarga?” tanya Aliya.

Mereka berempat berebut bertanya.

 Aluna menggelang dengan lemah.

“Terus kenapa kamu tidak sekolah?” cecar Sofia.

“Aku… aku….”

“Harus jagain adik kamu?” potong Qaisa.

“Memang ibu kamu kemana?” berondong Aliya.

“Sudah… sudah… beri kesempatan Aluna untuk menjawab. Jangan diberondong pertanyaan terus,” ucap Aqilla mengingatkan.

Qaisa, Aliya dan Sofia tertawa terbahak saat menyadari sedari tadi mereka tidak memberi Aluna kesempatan untuk menjawab pertanyaan mereka.

“Aku tidak masuk hari ini karena tidak punya makanan untuk dibawa ke sekolah,” ucap Aluna setelah beberapa saat. Refleks, keempat temannya memandang Aluna tidak percaya.

“Maksudnya?” tanya Aqilla.

“Ayahku sudah enam bulan berhenti kerja karena terkena PHK, baru satu minggu ini bekerja kembali. Kami sudah tidak punya uang simpanan lagi, barang-barang pun sudah banyak yang dijual untuk keperluan sehari-hari, termasuk meja dan kursi di ruang tamu ini,” ucap Aluna terisak.

“Apalagi karena Ibu sudah meninggal sewaktu melahirkan adikku lima tahun lalu, dan Ayah tidak jago memasak, untuk bekal ke sekolah aku biasa membeli di warung dekat rumah. Tapi karena sekarang Ayah tidak punya uang simpanan lagi, jadi tidak bisa beli bekal makanan,” sambung Aluna sambil mengusap buliran bening yang meluncur deras dari matanya.

Kok kamu tidak pernah cerita?” tanya Aliya.

“Aku malu,” jawab Aluna lirih.

“Kita kan teman, kenapa harus malu?” ucap Aliya sambil meluk Aluna.

“Sesama teman itu harus saling tolong-menolong,” sambung Aqilla.

“Iya Aluna kita itu teman, harus saling tolong menolong. Jadi, itu makanya selama beberapa hari ini kamu tidak pernah lagi membawa bekal?” berondong Sofia.

Aluna mengangguk.

 “Tapi kenapa setiap kali ditawari sebagian bekal kami, kamu tidak pernah mau?” cecar Aliya.

“Iya, kamu selalu beralasan masih kenyang,” timpal Qaisa.

“Aku memang masih kenyang. Sebelum berangkat ke sekolah aku makan nasi banyak-banyak. Apalagi Ayah juga melarang aku meminta-minta makanan,” jawab Aluna lirih.

Lho, kamu kan tidak minta, kami yang mau kasih,” protes Aqilla.

Aluna hanya menunduk.

 “Jumat depan kamu masuk ya, jangan bolos lagi,” ucap Aliya.

Aluna terdiam.

“Janji?” tanya Aqilla sambil menunjukan jari kelingkingnya.

“Tapi Ayah baru akan gajian dua minggu lagi. Aku juga tidak mau meminta-minta dari kalian. Kalau Ayah tahu, pasti marah. Ayah bahkan tidak ingin pihak sekolah tahu kalau kami sedang kesulitan keuangan seperti sekarang ini.”

Ssst… aku tahu jalan keluarnya,” ucap Aqilla.

***

Kamis sore, rumah Aqilla terlihat lebih meriah. Ada tambahan empat anak perempuan yang hilir mudik di dapur. Mereka sibuk membantu Aqilla dan sang mama membuat aneka kue untuk dibawa ke sekolah besok.

“Yakin hanya buat puding dan brownies?” tanya mama Aqilla.

Kelima anak perempuan itu mengangguk pasti.

“Kalau Mama punya ide buat minggu depan saja, Ma,” ucap Aqilla.

“Lagian kami bawa bahan-bahannya cuma buat dua makanan itu, Tante,” ujar Qaisa.

Mama Aqilla hanya mengangguk-angguk.

Saat di rumah Aluna, Aqilla ternyata mengusulkan agar mereka memasak makanan untuk sumbangan ke sekolah setiap Jumat di rumah Aqilla saja hingga ayah Aluna mendapat gaji dan dapat kembali membeli makanan jadi. Hitung-hitung mereka berlima belajar membuat kue dari mama Aqilla.

Agar tidak merepotkan keluarga Aqilla, masing-masing anak membawa bahan untuk membuat kue tersebut. Ada yang membawa biskuit untuk hiasan puding, ada yang membawa agar-agar, ada yang membawa kacang almond, ada yang membawa margarin dan tepung terigu. Aluna memilih membawa gula pasir dan telur. Kebetulan beberapa hari lalu, ayah Aluna mendapat bantuan sembako dari pengurus RT/RW.

“Wah seru ternyata ya membuat kue ramai-ramai begini. Nanti kalaupun Ayah Aluna sudah gajian, kita tetap memasak ramai-ramai seperti ini, yuk, tapi mungkin rumahnya yang gantian,” usul Qaisa.

“Boleh… boleh,” ucap teman-temannya yang lain serempak.

Kini, Aluna tidak pernah bolos sekolah lagi di hari Jumat. Saat Ibu Widya memanggil nama Aluna Nadira Santoso, pasti ada seorang anak perempuan yang akan mengacungkan tangan dan berseru dengan lantang, “hadir, Bu Guru!”

Tidak ada lagi juga rahasia di antara mereka berlima. Saat teman yang satu kesulitan, teman yang lain akan berusaha membantu. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *