Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

[Resensi Buku] The Last Lecture, Randy Pausch

Saat membaca uraian singkat buku The Last Lecture yang ditulis Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow, saya langsung tertarik ingin membaca. Apalagi disampul buku terbitan Gramedia itu  tertulis besar-besar, “buku terlaris menurut New York Times”.

Ternyata bukunya memang sangat menarik. Ada banyak hal inspiratif yang bisa kita ambil dari perjalanan hidup Randy Pausch, seorang profesor ilmu komputer. Terlebih buku itu dibuat Randy sebagai “kenang-kenangan” untuk ketiga buah hatinya kelak saat ia sudah tiada.

The Last Lecture, Kuliah Terakhir, Randy Pausch terbitan Gramedia

Saat membuat buku The Last Lecture, pria yang bernama lengkap Randolph Frederick Pausch itu sedang bergelut melawan kanker pankreas stadium akhir. Ia divonis hanya akan bisa bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan.

Berjuang Semaksimal Mungkin

Saat divonis mengidap kanker pankreas, Randy bukannya terpuruk. Ia malah berusaha melakukan beragam hal untuk keluarga kecilnya. Ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk istri dan anak-anaknya.

Pria kelahiran 23 Oktober 1960 itu juga memutuskan pindah dari Pittsburgh ke Virginia, Amerika Serikat. Tujuannya agar istri dan ketiga anaknya lebih mudah mendapat support system kala ia meninggal kelak. Keluarga besar sang istri, Jai, memang tinggal di kota tersebut.

Tidak hanya itu, Randy dan sang istri juga mengupayakan pengobatan terbaik. Ia berupaya untuk terus memperpanjang masa hidup. Apalagi ketiga anaknya masih sangat kecil, si sulung saat itu masih berusia lima tahun,  si tengah dua  tahun dan  si bungsu satu tahun.

Randy juga berinisiatif mengadakan kuliah terakhir di universitas tempat dulu ia mengajar, Carnegie Mellon University, Amerika Serikat, bertema “Mewujudkan Cita-cita Masa Kecil”. Ia mengundang seluruh mahasiswa dan kolega yang ia kenal.

Kuliah yang berdurasi sekitar satu jam itu tidak hanya ditujukan kepada para hadirin yang hadir, tetapi juga untuk dokumentasi bagi anak-anaknya kelak. Randy sadar, ia tidak bisa mengajari ketiga buah hatinya beragam hal secara langsung. Sang buah hati masih terlalu kecil untuk memahami apa yang ingin Randy sampaikan.

Itu makanya ia mengadakan kuliah terakhir yang kemudian divideokan. Tak dinyana, kuliahnya mendapat sambutan yang sangat hangat. Kuliah terakhir tersebut banyak dibagikan di channel youtube. Randy bahkan sampai membuat versi bukunya yang sekarang ini sedang kita bahas.

Bukan Cerita Tragis Seorang Pasien Kanker

Hal yang menarik dari buku ini, meski dibuat oleh seorang pasien kanker stadium akhir, tidak mengulas cerita tragis seorang penyintas kanker. The Last Lecture justru sarat dengan kisah-kisah inspiratif yang dialami Randy Pausch semasa hidup, mulai dari saat ia kecil, saat kuliah, hingga mengajar di universitas.

Randy menceritakan bagaimana ia bisa menggapai impian-impian masa kecilnya. Tidak hanya impian-impian serius, seperti ingin menjadi seorang imagineer Disney, tetapi juga impian nyeleneh. Salah satunya ingin merasakan mengambang di ruang hampa udara tanpa harus menjadi seorang astronaut.

Tak disangka, impian tersebut satu persatu terwujud. Meski terkadang harus melewati jalan yang berkelok. Randy bisa menjadi seorang imagineer Disney dan merasakan ruang hampa udara berkat profesinya sebagai seorang dosen. Namun, kesempatan tersebut tentu tidak datang begitu saja. Semua harus diupayakan.

Dalam proses mewujudkan impian dan harapan-harapan yang Randy miliki, terkadang ia harus berani meminta, “mengetuk pintu”, melihat peluang, tidak gengsi menerima bantuan, tak hanya diam begitu saja.

Ia juga kerap harus melewati “brick walls”. Namun, Randy mengatakan, “tembok bata” itu bukan halangan. “Tembok bata” bukan untuk mencegah kita. Namun, untuk memberi kita kesempatan menunjukan bahwa kita begitu menginginkan hal tersebut.

Mengajarkan Kejujuran

Secara tersirat buku The Last Lecture mengajarkan kita agar jujur. Tidak ngeles atau mencari alasan yang mengada-ada.

Hal tersebut tergambar saat Randy menjawab pertanyaan dari salah satu petinggi Carnegie Mellon University. Saat itu Randy melakukan pengajuan pendaftaran untuk kedua kalinya ke Carnagie Mellon University setelah pengajuan yang pertama ditolak.

Begitu juga saat Randy mengubah pengajuan dari dosen pendamping mahasiswa menjadi bagian publikasi saat mengajukan kunjungan ke NASA. Namun, justru jawaban jujur Randy membuat ia bisa mewujudkan impian-impiannya.

Tentukan Prioritas, Abaikan Hal yang Tidak Penting

Salah satu hal yang paling membekas di pikiran saya dari buku The Last Lecture adalah saat Randy lebih memilih waktu dibanding uang yang tidak seberapa (untuk ukurannya). Ia mengajarkan mengenai prioritas yang harus kita dahulukan.

Kala itu Randy berbelanja kebutuhan sehari-hari di salah satu supermarket. Saat ia membayar belanjaan dengan kartu kredit, struk pembayaran tidak keluar. Akhirnya ia menggesek kembali kartu kreditnya. Setelah itu, struk pembayaran keluar dua kali.

Ia sempat akan mengurus hal tersebut ke pihak supermarket agar uangnya kembali. Namun, setelah ia pikirkan ulang, ia akhirnya memilih pulang dan membiarkan hal tersebut.

Meski pengurusannya tidak berbelit, tetapi Randy berpikir waktu yang ia miliki lebih berharga daripada uang yang hilang akibat melakukan pembayaran dua kali. Apalagi nominal uang itu tidak seberapa untuk ukurannya.

Orang Lebih Berharga dari Barang

Ini yang membuat saya terkesan dengan Randy.

Saat masih bujang, Randy kerap membawa dua keponakannya berjalan-jalan dengan menggunakan mobil.

Suatu hari saat akan mengajak sang keponakan berjalan-jalan, Randy membawa mobil baru yang sangat kinclong. Melihat mobil yang begitu mengilap, ibu dari dua keponakannya, yang merupakan kakak Randy, berpesan secara berulang agar anak-anaknya lebih berhati-hati di dalam mobil. Tidak mengotori mobil Randy.

Lalu apa yang dilakukan Randy? Ia justru mengambil minuman bersoda dan menyiramkannya secara sengaja ke jok mobil yang masih terlihat berkilau. Sontak dua keponakannya kaget.

Randy ternyata melakukan hal tersebut agar kedua keponakannya lebih leluasa menikmati perjalanan di dalam mobil. Ia tidak ingin mereka terbebani karena takut mengotori mobil. Ia bilang mobil itu hanyalah barang. Dan, orang lebih berharga dari barang.

Banyak hal lain yang sangat menarik dari buku ini. Sulit diuraikan satu-satu. Harus membaca bukunya secara langsung.

Salah satunya saat Randy menceritakan bahwa hubungan baik dengan orang lain tidak kalah penting dengan kepintaran yang kita miliki. Kita harus bisa bekerja sama. Kita juga harus mampu mengoreksi sifat-sifat yang kurang baik.

Atau kebahagian saat membantu mewujudkan impian seseorang ternyata lebih membahagiakan dibanding hanya mewujudkan impian sendiri.

Ah, sebaiknya memang membaca sendiri buku ini. Selamat Membaca! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *