Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Saat Anak Dibully Teman Sekolah, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Beberapa waktu terakhir ini, kerap terdengar kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Beberapa kasus bahkan berakibat fatal. Korban bullying ada yang sampai tidak sadarkan diri, bahkan meninggal dunia.

Hal tersebut seperti yang terjadi pada salah satu siswa SMP di Garut, Jawa Barat. Agustus 2022 lalu, siswa tersebut dirundung oleh dua orang teman sekelasnya hingga tidak sadarkan diri dan harus dirawat di Puskesmas.

Lalu, Juli 2022 lalu, ada siswa kelas V SD di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggal karena mengalami depresi akibat dirundung oleh teman-teman sekolahnya.

Begitu juga dengan perundungan yang terjadi pada salah satu siswa MTs  Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara, yang terjadi Juni 2022 lalu. Siswa tersebut tewas akibat dirundung dan dianiaya teman-teman sekolahnya.

Ngeri, ya?!

Perundungan. | Foto freepik diambil dari kompas.com.

Lalu, apa yang harus kita lakukan bila anak kita menjadi korban perundungan?

Laporkan ke Pihak Sekolah

Saat tahu anak kita dirundung oleh teman-teman sekolahnya, kita jangan tinggal diam. Laporkan hal tersebut ke pihak sekolah. Kita dapat mengadukan dan membicarakan hal tersebut dengan wali kelas.

Ceritakan dan jelaskan secara runut dan terperinci. Bilang kalau kita keberatan anak kita diperlakukan seperti itu oleh teman-teman sekelasnya. Khawatir berpengaruh ke psikologis dan masa depan anak.

Saat kelas 4 SD anak sulung saya pernah mengalami perundungan. Anak saya diintimidasi oleh beberapa teman sekelasnya. Mereka kerap mengeluarkan kata-kata yang memojokan, mempengaruhi teman-teman yang lain untuk menjauhi anak saya. Bahkan ada dua orang anak yang berani memukul.

Bila Masih Berulang, Laporkan Kembali

Saat kelas 5, kejadian perundungan ternyata berulang. Si perundung masih anak-anak yang sama. Setiap ada kesempatan mereka mengeluarkan kata-kata yang “memerahkan telinga”, mempengaruhi teman-teman yang lain untuk mengucilkan anak saya, hingga membatasi “ruang gerak” anak saya.

Saat ada tugas kelompok, anak saya bahkan suka kebingungan mau ikut kelompok yang mana karena di beberapa kelompok tersebar teman-teman si perundung  yang sudah dipengaruhi untuk tidak mau berteman dengan anak saya. Jadi, saat anak saya bergabung ke salah satu kelompok, teman-teman yang lain dipengaruhi untuk menolak anak saya.

Namun, karena sudah ditegur saat kelas 4 karena memukul, mereka tidak lagi berani memukul anak saya. Akan tetapi, dampaknya tetap sama berbahayanya bagi psikologis anak.

Akhirnya saya kembali melaporkan hal tersebut ke wali kelas. Kali ini lebih tegas. Saya ceritakan saat kelas 4 saya sudah melaporkan hal tersebut ke wali kelas sebelumnya, ternyata masih berulang, sehingga kali ini saya mau difasilitasi untuk bertemu dengan para perundung anak saya itu.

Wali kelas 5 tidak memberi izin. Mungkin beliau khawatir saya tidak bisa menahan diri. Takut marah, meledak. Sehingga, masalahnya semakin besar.

Padahal waktu itu niat saya akan membicarakan hal tersebut secara baik-baik. Mencoba mencari akar masalahnya. Saya hanya ingin perundungan tersebut berakhir.

Sang wali kelas meminta saya percaya padanya untuk menyelesaikan masalah tersebut secara internal. Bila kemudian perundungan tersebut berulang, ia berjanji akan membawanya ke bagian kesiswaan dan memanggil orangtua para perundung tersebut.

Akhirnya saya mengikuti alur yang ditetapkan sang wali kelas.

Bicarakan dengan Orangtua Murid Si Perundung

Namun, berkaca pada kejadian sebelumnya, kali ini saya tidak percaya begitu saja kepada wali kelas.

Apalagi anak saya bilang, meski saat kelas 4 sudah ditegur oleh wali kelas, pasca peneguran tersebut  para perundung itu sebenarnya masih kerap merundung anak saya. Hanya saja, kadarnya sedikit berkurang. Itu makanya anak saya juga kerap mengabaikan, tidak terlalu diambil hati. Ia juga tidak lagi bercerita terkait perundungan-perundungan yang ia alami kepada saya.

Saat kelas 5, mereka kembali semakin berani karena mungkin merasa wali kelasnya sudah berganti.

Alhasil, kali ini saya juga mencoba menghubungi wali murid para perundung.

Meski dilarang wali kelas, tadinya saya akan tetap mendatangi satu persatu anak-anak yang merundung anak saya. Namun, setelah dipertimbangkan kembali dengan matang, saya batal melakukan hal tersebut.

Khawatirnya terjadi salah paham dan masalah semakin membesar. Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi orangtua perundung.

Saya tanya kepada anak saya, diantara para perundung itu, mana “dedengkotnya” hehe. Untuk tahap awal, saya akan menghubungi orangtua perundung yang dedengkotnya saja. Bila masih berulang, keadaaan tidak berubah, saya akan menghubungi orangtua para perundung yang lain.

Apalagi para perundung itu sudah saya laporkan juga ke wali kelas dan wali kelas berjanji akan menegur dan menasihati.

Setelah anak saya menyebutkan salah satu nama, saya menghubungi orangtua murid anak tersebut.

Dengan bahasa sesopan mungkin saya menceritakan masalah yang dialami anak saya dengan anaknya di kelas. Saya bilang anaknya dengan anak saya tidak akur. Anaknya suka mengganggu anak saya. Entah karena apa awalnya.

Saya memohon kerjasama si orangtua murid itu untuk saling menasihati anak-anak agar tidak terjadi lagi hal seperti itu. Meski tidak bisa berteman, mereka setidaknya tidak saling mengganggu agar suasana belajar di kelas terasa nyaman untuk setiap anak.

Waktu itu saya tidak menyebut perundungan, khawatir orangtuanya tersinggung. Saya juga tidak terlalu menyalahkan anaknya, khawatir dia tidak terima.

Namun, orangtuanya sepertinya tetap tidak terima dengan hal tersebut. Apalagi anaknya katanya memiliki versi cerita yang berbeda.

Waktu itu saya bilang tidak masalah memiliki versi cerita yang berbeda, apalagi saya menghubungi dia bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya hanya ingin masalah selesai, anak saya tidak punya masalah dengan siapapun dan bisa belajar dengan nyaman di sekolah.

Si orangtua itu mengajak saya bertemu berempat. Dia dengan anaknya, saya dengan anak saya. Saya jawab, ayo bertemu biar clear.

Waktu itu saya bahkan mengajukan waktu untuk pertemuan tersebut. Namun, ia beralasan ada hal lain yang harus ia kerjakan yang lebih mendesak. Hingga sekarang sudah berlalu beberapa bulan, pertemuan tersebut tidak pernah terjadi.

Namun, saya tidak masalah. Pertemuan itu tidak urgent. Hal yang paling penting, anaknya tidak lagi mengganggu anak saya.

Dan, setelah saya menceritakan masalah itu ke orangtuanya, anaknya memang tidak lagi mengganggu anak saya hingga sekarang. Anak-anak yang lain juga yang biasanya suka merundung anak saya berhenti merundung.

Anak-anak yang lain sepertinya memang hanya ikut-ikutan. Saat si perundung utama tidak lagi merundung, mereka juga tidak merundung lagi.

Saya setiap hari memantau dan menanyakan masalah perundungan tersebut kepada anak saya setiap ia pulang sekolah. Jangan sampai saya abai, dan perundungan tersebut kembali berulang.

Mengapa saya merasa harus membicarakan masalah tersebut kepada orangtua murid? Biar si perundung tahu bahwa si orangtua yang dirundung peduli. Dia tidak membiarkan anaknya dirundung.

Apalagi kalau si orangtua memberitahu si perundung itu kalau ia dihubungi oleh orangtua lain kalau anaknya itu suka mengganggu.

Bila hanya melaporkan ke guru, khawatir guru hanya menegur biasa saja. Tidak memberitahu kalau orangtua yang merundung menghubungi guru dan melaporkan perundungan.

Terkadang perundung merasa berani merundung karena merasa ia punya power dan yang dirundung tidak punya pelindung.

Bila ia tahu orangtua yang dirundung “turun tangan”, biasanya si perundung berpikir ulang untuk merundung.

Ajarkan Anak untuk Bersikap Tegas

Perundung umumnya pilih-pilih korban. Ia akan memilih korban yang mudah untuk diintimidasi. Bila setelah dirundung si korban tidak melawan, terlihat ketakutan, segan untuk melawan. Si perundung umumnya akan melanjutkan perundungan tersebut secara berulang. Ia bahkan tidak akan segan mempengaruhi teman yang lain untuk ikut merundung.

Oleh karena itu, ajarkan anak kita untuk bersikap tegas. Bila ada hal yang membuatnya merasa tidak nyaman, speak up. Jangan diam. Jangan takut. Bila tidak berani melawan sendiri, ajari anak untuk melaporkan ke guru atau orangtua.

Saat sekolah dulu, saya tidak pernah dirundung. Saya justru dirundung saat di dunia kerja. Waktu itu ada teman kerja perempuan yang lebih senior, yang melakukan beberapa hal yang menurut saya sudah termasuk kategori perundungan.

Awalnya saya diamkan, saya abaikan. Sebisa mungkin saya menghindari rekan kerja tersebut untuk meminimalisir perundungan. Apalagi saya termasuk orang yang malas berkonflik. Namun, semakin saya seperti itu, ia semakin besar kepala.

Akhirnya di satu titik saya lawan dia. Saat ia kembali melakukan perundungan yang dibalut topeng “becanda”, saya gebrak meja di depan rekan kerja yang lain –-bahkan di depan atasan, saya ucapkan dengan tegas saya tidak nyaman dengan kata-kata yang dia ucapkan, saya juga tidak suka dengan perlakuan yang dia lakukan.

Saya minta dia bersikap sewajarnya seperti rekan kerja yang lain. Saling menghormati. Bila ada masalah yang memicu dia tidak suka dengan saya, waktu itu saya bilang, bisa dibilang baik-baik ke saya agar semuanya clear.

Saat itu dia speechless. Ia sepertinya tidak menyangka saya berani melawan seperti itu. Besok-besoknya ia tidak lagi berani merundung.

Perundung memang harus dilawan dengan tegas. Dia harus tahu kita tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena.

Mereka kadang suka berlindung dibalik kata, “hanya becanda.” Namun, kita sebagai orang yang dirundung pasti tahu, mana yang sekadar becanda, mana yang dilakukan sebagai bentuk perundungan.

Sejak tahu anak saya dirundung, saya secara intens menasihati anak saya untuk secara tegas melawan. Kata anak saya, setelah ia bersikap lebih tegas, ada salah satu si perundung itu bilang, “eh, sekarang sudah berani melawan ya?”

Tapi lambat laun mereka jadi tidak berani merundung lagi.

Ingat lho, melawan ya, bukan membalas.

Tegaskan Anak Kita Berharga

Setiap kali ada kesempatan, tegaskan kalau anak kita berharga. Kalau ada teman yang mengintimidasi, menyuruh atau memaksa dia melakukan sesuatu yang dia tidak mau lakukan, atau membuat dia tidak nyaman, berhak kok menolak. Kalau anak-anak itu tetap memaksa dan anak kita tidak kuasa menolak atau melawan, ajarkan ia untuk melaporkan kepada guru atau orangtua.

Bilang, kita sebagai orangtua akan selalu ada di garda terdepan untuk membela dan membantu anak. Tentu, kita juga harus tegaskan, anak juga jangan berbuat semena-mena kepada teman-temannya, jangan mengganggu, apalagi malah membully.

Dulu saat anak saya pertama kali cerita ada teman yang mengganggunya, membully, saya sebenarnya agak ragu melaporkan hal tersebut ke pihak sekolah. Saya khawatir dianggap berlebihan. Saya takut dinilai terlalu ikut campur masalah anak.

Namun, ternyata tidak lho!

Saat anak bercerita kepada kita, itu berarti dia sudah tidak bisa mentolerir rasa tidak nyamannya. Pada tahap awal kita bisa melaporkan ke guru untuk dicarikan solusi.

Jangan menunggu pembullyan semakin berkembang. Nanti kita malah menyesal karena terlalu terlambat untuk membantu menangani.

Ada orangtua murid lain yang cerita ke saya saat tahu anak saya dibully, ia bilang ia termasuk orangtua yang gercep. Saat anaknya bercerita ada teman sekelasnya yang mengganggu, membully, ia datangi anak yang mengganggu tersebut, terkadang melaporkan kepada orangtuanya, tentu dengan kata yang baik-baik. Tidak menunggu sampai parah.

Biar apa? Biar anak itu tidak berkelanjutan mengganggu anaknya.

Apalagi seperti yang saya bilang sebelumnya, anak-anak kecil itu umumnya segan menganggu anak lain yang tahu orangtuanya peduli, tidak segan “turun tangan” saat anaknya diganggu.

Doakan Anak Kita

Hal yang paling penting adalah mendoakan anak kita agar tidak dirundung.

Sejak anak saya dibully, sekarang saya secara spesifik mendoakan anak saya agar tidak dirundung, disayangi teman-teman, guru-guru, tidak dijauhi, tidak dikucilkan.

Sebab, hal terberat bagi anak-anak itu sepertinya memang dikucilkan oleh teman-temannya. Apalagi bila anaknya hobi main seperti anak saya.

Alhamdulillah, alih-alih dikucilkan, anak saya sekarang malah disukai. Beberapa waktu lalu, ada lima orang teman sekelasnya yang urunan memberi hadiah berupa sepatu. Saat ditanya anak saya mengapa tiba-tiba memberi hadiah, teman-temannya itu bilang itu karena anak saya baik. Bahkan tetap baik kepada anak-anak yang (dulu) suka membully.

Guru Harus Lebih Awas

Untuk para guru, juga ada baiknya lebih awas. Anak yang suka membully itu, terkadang di depan guru baik, dibelakang intens menganggu temannya. Apalagi dia mungkin hanya ikut-ikutan.

Saat saya melaporkan salah satu anak yang suka membully anak saya, wali kelas saat itu bertanya dengan rasa tidak percaya, “masa sih dia suka membully?”

Waktu itu si wali kelas menilai anak tersebut tergolong pendiam dan tidak banyak tingkah. Sehingga, katanya, tidak mungkin menjadi salah satu perundung.

Ah, semoga tidak ada lagi perundungan. Sudah terlalu banyak korban. Salam! (*)

17 comments on “Saat Anak Dibully Teman Sekolah, Apa yang Harus Kita Lakukan?

  1. Sangat miris dan ngeri membaca berita bullying yang dewasa ini semakin marak dan begitu mudah para pelaku melakukannya
    Bahkan bullying yang dilakukan tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi melalui media social yang dampaknya pun tidak main-main, banyak korban bullying yang bahkan memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah membaca “saran dan kritik” dari netizen
    Kami juga selalu mengingatkan pada keponakan saya, agar tidak takut bercerita apabila ada teman yang membully-nya dan tidak takut menghadapi sang pelaku

  2. Proud of you mba, untuk langkah tegas dan solutif yang mba tempuh untuk membebaskan ananda dari jerat perundungan. Reminder juga buat saya untuk lebih aware dan sigap melihat fenomena perundungan yang akhir-akhir ini sangat menyedot perhatian publik.

  3. bullying juga menjadi salah satu topik yang belakangan ini ramai di bahas di salah satu sosial media. Ngeri ya klo dibiarkan, anak juga mesti dilatih untuk tegas dan membela diri jika tidak bersalah

  4. Proses saya juga dengan anak-anak. Bagaimana mereka sebelum sekolah belum pernah mengenal bullying teman sebaya. Saya sedikit dag Dig dug jika itu terjadi. Tapi perlahan saya sudah edukasi mereka dengan berbagai media

  5. Bener sih, guru tuh mesti lebih aware sama muridnya apalagi kalau terjadi perundungan, ditegasin klau nggak boleh, kasian anak yg dirundung. Pokok.y salut deh sama lngkah mba buat menghentikan perundungan anak mba

  6. Bener nih, banyak banget kejadian kaya gini. Guru harus lebih aware. Dan bener juga, si perundung utama kalo udah diem, ya yg lain ga ikut2an. Dulu ada temenku yg dirundung oleh sekelompok teman sekelas. Sedihnya tidak ada yg mau sekelompok sama dia, akhirnya ku ajak ke kelompok ku. Aku ditegur sama temen2 lain, tapi aku bodo anat, kan anak itu ga ada masalah juga sama aku.

  7. Benar juga ya mba, orangtua harus segera turun tangan jika sudah mengetahui anaknya mengalami perundungan. Semoga tak ada lagi perundungan di kemudian hari, ga baik bagi mental keduanya, yg dirundung maupun perundungnya.

  8. Semangat mba. Saya juga tidak akan terima kalau anak saya dibully. Tapi kalau saya takut anak saya membully karena anak saya tipe dominan. Takutnya dia ngga ngertibyg dia lakukan

  9. MasyaAllah luar biasa sekali ya perjuangan seorang Ibu untuk melindungi anaknya :”))
    Makasih mbak sudah menuliskan pengalaman ini. Saya jadi agak lega karena overthinking masalah perundungan, meskipun anak saya masih 2 tahun.

  10. Anak saya pernah dibully saat SMP, dan saya melakukan hal yang hampir sama dengan artikel ini..dan Alhamdulillah kini dia SMA tak berulang kejadiannya.

    Soal bully, kapan hari teman sekelasnya dikeluarkan dari sekolah. Sayang sekali padahal sudah kelas XII, kasusnya pembullyan tapi di luar jam sekolah. Banyak guru yang heran karena anak itu di kelas terlihat kalem. Tapi di luar sekolah teman-temannya dipalak , dibully, dan kasusnya banyak. Akhirnya setelah ada beberapa peringatan murid itu dikeluarkan.

  11. Topik tentang urusan bully atau perundungan ini memang pelik saya perhatikan. Di luar sana, bahkan sekarang marak dengan orang-orang dewasa yang mencontohkan perilaku membully ini terang-terangan. Bahkan pada orang yang belum dikenalnya. Terima kasih sudah sharing sedetail ini ya Mbak. Semoga kita dan anak-anak senantiasa dijauhkan dari perkara semacam ini.

  12. sebagai ibu pastinya saya khawatir kalau anak saya dibully di sekolahnya. sekarang anaknya masih TK sih dan alhamdulillah masih aman semoga aja pas masuk SD nanti juga tidak kena kasus dibully atau malah membully orang

  13. Aku juga sedang mengalami hal yang sama, kak..
    Hanya bedanya antar geng, bukan perorangan. Sebenernya, aku sebagai orangtua gak ingin ikut campur karena masalah anak-anak, tapi kalau perundungannya sudah terlalu, rasanya orangtua harus banget mengadu kepada wakel.

    Dan ketika ada tindakan, semoga bisa menjadi jalan keluar yang terbaik.
    Yang perlu diluruskan di sini adalah semua orangtua ingin anaknya tumbuh baik. Sehingga sikap yang benar harus diingatkan sedari dini tanpa menghilangkan karakter dan identitas mereka di lingkungan tempatnya bertumbuh.

  14. Masyaallah real sih terjadi di sekolahan. Memang penyelesaian permasalahan harus ada jembatan antara sekolah dan orangtua.

    Dan anak harus dibekali mental baja ketika siap keluar dari rumah misalnya saat sekolah. Karena darisanalah anak mendapat berbagai macam yang dengan mudah ditiru bahkan terluka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *