Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

[Cerpen] Doa Naira


Foto: Shutterstock

Long way trip to The Scottish Highlands.

Rani mengamati lekat-lekat foto dan video salah satu sahabat semasa sekolah menengahnya dulu melalui instagram. Melihat bagimana ia tersenyum lebar bersama sang suami dengan latar belakang bukit-bukit yang memukau. Tak diacuhkannya suara Naira, sang buah hati, yang beberapa kali memanggil, memintanya untuk bermain Barbie bersama. Rani terlalu larut mengamati feed instagram sang kawan.

Sudah lama Rani selalu mengamati unggahan foto dan video teman sebangkunya sewaktu SMU itu. Kerap membagikan pemandangan yang memesona dari berbagai negara, membuat Rani rutin secara khusus mampir ke akun si sahabat. Terutama saat musim libur sekolah atau libur akhir tahun. Kala sang sahabat secara khusus menyediakan waktu untuk menjelajah beberapa negara bersama suami dan kedua buah hati.

Setiap kali Rani memandang unggahan sang teman melalui media sosial, selalu ada rasa kagum dan iri yang menyelimuti. Kedua rasa itu saling tindih. Entah mana yang paling mendominasi.

“Ran, kamu sedang apa? Dipanggil Naira tuh, dari tadi.” Tiba-tiba Joni, sang suami, muncul.

Rani buru-buru menutup aplikasi instagram dan meletakan ponselnya di meja samping tempat tidur. Setelah itu, ia menuju ruang keluarga, menemui Naira. Gadis kecil miniatur dirinya yang kerap meminta perhatian lebih banyak kala akhir pekan tiba.

***

“Mama, ini hari Minggu kan? Asik, berarti kita masih bisa bermain masak-masakan dengan Si Barbie!”

Rani memandang Naira dengan sedih. Setiap Senin tiba, selalu itu kalimat yang ia ucapkan. Naira seolah tak rela sang bunda kembali berkutat dengan kesibukan untuk mengais rezeki dan meninggalkannya bersama tetangga depan rumah yang sudah mereka anggap sebagai keluarga.

“Ini hari Senin sayang, Mama harus kerja. Sabtu dan Minggu depan kan kita bisa bermain lagi.”

Seperti biasa, terlihat gurat kekecewaan di wajah Naira, setiap kali Rani mengucapkan kalimat tersebut.

“Semoga nanti Papa bisa dapat pekerjaan dengan gaji yang lebih banyak biar Mama tidak lagi harus bekerja.”

Rani memandang Joni dengan perasaan tidak enak. Entah dari mana bocah berusia empat tahun itu mendapatkan kata-kata tersebut.

***

“Setiap pulang bekerja, papa Alexa selalu membawakan jajanan enak dan mainan. Nai, juga mau seperti itu.”

“Nai, mau dibawakan apa?” Tanya Joni.

“Cokelat, donat, rumah Barbie, banyak, Pa,” jawab Naira sambil memperagakan bentuk rumah Barbie yang ingin ia miliki.

“Nanti, kalau Mama dan Papa punya rezeki lebih, kita beli ya. Naira bantu berdoa agar Mama dan Papa diberi rezeki yang banyak,” ujar Rani sambil memeluk Naira.

Rani tidak mau percakapan tersebut berlanjut. Ia tidak ingin membuat Joni merasa bersalah karena tidak bisa seperti tetangga sebelah. Gaji Joni sebagai Account Officer di sebuah bank hanya cukup untuk membayar cicilan rumah dan motor setiap bulan.

Sementara gaji Rani hanya cukup untuk menutupi kebutuhan mendasar sehari-hari dan membayar upah tetangga sebelah yang setiap hari menjaga Naira. Uang untuk membayar tagihan listrik dan air pun, terkadang harus mengorek uang bonus yang setiap tahun Rani dan Joni dapat dari kantor masing-masing.

Padahal uang bonus itu sengaja disimpan Rani untuk membeli kendaraan roda empat. Beberapa bulan ke depan Naira sudah akan bersekolah di salah satu TK yang cukup jauh dari rumah. Bila hanya mengandalkan sepeda motor, khawatir mobilitas terganggu karena cuaca. Terlebih pada bulan-bulan tertentu, Bogor kerap dilanda hujan hampir setiap hari.

***

Senyum Naira mengembang melihat aneka cokelat yang dibawa Joni. Senyum tersebut semakin lebar kala melihat replika sebuah rumah yang dicat putih dan pink untuk Barbie kesayangan Naira.

“Makasih Pa, Makasih!” Ujar Naira sambil meloncat-loncat kegirangan. Ia memandang rumah Barbie tersebut hampir tanpa kedip.

“Kamu dapat uang dari mana bisa membeli semua ini, Mas?” Tanya Rani.

“Aku dapat bonus besar banget. Bulan depan kamu resign ya, sayang. Tidak usah kerja lagi. Uang bonus itu, bisa untuk membeli dua mobil baru sekaligus. Kamu satu, aku satu. Bisa untuk melunasi cicilan rumah dan motor, jalan-jalan ke luar negeri, banyak,” jawab Joni dengan mata berbinar.

“Serius, kamu?!”

Joni mengangguk. “Kamu mau jalan-jalan ke mana? Ke Inggris, Skotlandia, seperti teman SMU kamu itu?”

“Aku sih ke Singapur dan Malaysia saja sudah cukup, Mas,” jawab Rani.

“Tenang, uang bonusnya banyak kok. Nanti setelah resign kamu juga bisa buka butik seperti yang kamu impikan. Barang-barangnya nanti kamu beli langsung dari luar negeri. Sambil jalan-jalan, sambil hunting produk untuk dijual lagi.”

Rani menatap Joni tak percaya sambil bertanya-tanya dalam hati, doa apa yang dipanjatkan Naira, hingga dalam waktu singkat Joni tak hanya sanggup membelikan aneka jajanan dan mainan, tetapi juga mampu mewujudkan cita-cita Rani berkeliling ke mancanegara dan membuka butik.

***

Assalamualaikum, Paris! Peluk cium dari kami bertiga.

Rani dengan semangat mengunggah beberapa foto di akun instagram dengan latar belakang Menara Eiffel. Ikon Kota Paris, Perancis, yang dulu hanya bisa ia lihat melalui feed instagram atau artikel-artikel bertema wisata.

Ada debar membahagiakan kala Rani melihat menara yang tinggi menjulang tersebut secara langsung. Terlebih saat teman-teman di Instagram mengetukan tanda love bertubi-tubi hingga ratusan. Padahal sebelumnya hanya belasan orang saja yang kerap memberikan jejak di postingan instagramnya.

“Terimakasih ya, Mas Joni. Aku sangat bahagia bisa berkesempatan jalan-jalan seperti ini,” ujar Rani dengan mata berbinar.

“Aku lebih bahagia lagi Ran. Akhirnya aku bisa mewujudkan salah satu impian kamu. Nanti kita jalan-jalan ke negara lain ya, kamu tinggal list saja.”

***

Rani mengucek-ngucek mata saat azan subuh berkumandang. Ia yang biasanya bersemangat menyambut hari, kini merasa sangat malas. Bahkan hanya untuk membuka mata. Setiap kali ia terjaga, kepala terasa berat. Semua berjalan seperti mimpi, dengan akhir yang memilukan.

Ia dan Joni yang beberapa waktu lalu masih bergelimang harta, kini tidak memiliki apapun. Rumah, mobil, motor, hingga butik disita. Kini ia mengungsi di rumah peninggalan orangtuanya di pinggiran Kota Hujan. Rumah lawas yang catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini. Suami pun kini hanya tinggal status. Joni ada, tetapi terasa seperti tidak ada.

Uang bermiliar-miliar yang disebutkan Joni sebagai bonus ternyata uang sogokan dari salah satu nasabah bank di mana Joni bekerja. Mereka berkomplot melakukan manipulasi pinjaman hingga merugikan bank ratusan miliar. Kini semua yang terlibat dipenjara, termasuk Joni, si suami Rani.

“Ma, Nai kangen, Papa. Kapan kita jalan-jalan lagi? Kapan Papa bawakan Nai cokelat dan mainan lagi?” Tiba-tiba Naira yang terbaring di sebelah Rani ikut terbangun.

“Nanti ya sayang. Sekarang Nai doakan biar Papa segera pulang. Nai juga doakan biar Mama segera mendapat pekerjaan kembali biar bisa jemput Papa, biar kita bisa jalan-jalan lagi,” jawab Rani dengan air mata tertahan.

“Nai pasti doakan, Ma. Lebih sering dibanding doa yang dulu, biar Allah cepat kembalikan Papa seperti dulu.”

Rani hanya mengusap-usap kepala Naira sambil berusaha tidak menitikan air mata. Ia sangat berharap, doa Naira segera dikabulkan Sang Maha Kuasa. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *