Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Sepotong Kisah Saat Si Bayi ASI Terkena Sembelit

Gambar diambil dari sayabunda.com

Bayi yang hanya mendapat asupan ASI, air susu ibu, umumnya lebih rentan mengalami sembelit. Tidak mengalami buang air besar selama beberapa hari. Menurut dokter anak yang membantu saya saat persalinan anak kedua, hal tersebut wajar. Itu dikarenakan ASI diserap secara utuh.

Batas toleransi bayi tidak BAB adalah dua minggu. Dengan catatan, bayi tidak rewel dan masih beraktifitas dengan normal. Bila terlihat rewel, tidak nyaman, atau apapun yang terlihat tidak biasa karena bayi tidak buang air besar selama beberapa hari, sebaiknya langsung saja dibawa ke dokter. Khawatir ada indikasi medis lain.

Anak pertama saya tidak pernah mengalami sembelit. Mungkin karena sejak lahir tidak full ASI. Susu yang diberikan tidak sepenuhnya ASI atau ASI perah, tetapi dicampur dengan susu formula. Anak kedua yang diberikan ASI sepenuhnya baru mengalami sembelit lumayan parah.

Anak kedua saya pertama kali mengalami sembelit saat berusia dua bulan. Ia tidak BAB selama dua hari. Saya biarkan. Toh, ia tetap lincah. Hari ketiga ia BAB. Setelah itu ia kembali sembelit secara berulang selama dua hari, tiga hari, seminggu. Puncaknya saat memasuki usia tiga bulan ia sembelit hampir dua minggu.

Saya sudah melakukan pijat ILU, pijat “I love you”. Memijat lembut perut bayi dengan menggunakan minyak telon. Namun, hasilnya nihil. Saya juga sudah mencoba menggerak-gerakan kaki anak kedua saya seperti sedang menggoes sepeda. Konon, katanya efektif untuk mengatasi sembelit pada bayi. Namun, juga tidak berhasil.

Saat dua minggu anak kedua tidak BAB, saya dan suami mulai was-was. Kami akhirnya memutuskan membawa si kecil ke dokter anak. Sayangnya, dokter anak yang biasa kami datangi untuk imunisasi dan konsultasi, sedang cuti. Saat itu memang sedang libur Natal dan Tahun Baru 2019.

Akhirnya kami membawa si kecil ke dokter anak yang praktek di salah satu rumah sakit dekat rumah. Ada satu dokter anak yang biasa kami datangi di rumah sakit itu bila anak pertama sakit. Namun ternyata dokter itu pun sedang cuti, tidak praktek. Kami akhirnya diarahkan ke dokter anak yang satunya. Masih di rumah sakit yang sama.

Bila Ragu, Cari Second Opinion

Saat memasuki ruang praktek dokter anak itu, saya dan suami sudah merasa tidak nyaman. Alih-alih di sambut dengan kalimat hangat yang menguatkan, dokter tersebut malah mengucapkan kata, “sudah dua minggu tidak buang air besar, ada apa ya?!” dengan nada lumayan tinggi. Bikin deg-degan.

Lalu anak kami diminta berbaring untuk diperiksa. Sambil memeriksa, dokter tersebut mengatakan bayi saya terlihat sehat-sehat saja. Aktif dan ceria. Saya mengatakan, bayi saya memang sehat-sehat saja. Ia sembelit karena full hanya mengkonsumsi ASI. Saya dan suami juga datang ke sana untuk meminta obat pencahar agar bayi kami bisa kembali BAB dengan normal.

Namun entah dengan pertimbangan apa, kami tidak diberi obat pelancar BAB. Dokter tersebut malah meminta kami ke bagian radiologi. Anak kami diminta dirontgen. Suami sempat mendebat, kok sampai harus dirontgen segala. Saat itu, saya sebenarnya ingin membawa anak saya pulang. Mengabaikan imbauan dokter tersebut. Saya percaya anak saya baik-biak saja. Saat itu hanya perlu obat pencahar.

Namun saya batal membawa anak saya pulang. Saya khawatir suami marah. Setelah mengobrol beberapa waktu kemudian, suami juga ternyata manut dengan anjuran dokter justru karena takut saya marah. Apalagi saat itu sepertinya sulit mencari dokter anak lain yang praktek. Banyak yang sedang cuti panjang.

Akhirnya kami membawa anak saya ke bagian radiologi. Toh saya pikir, paling hanya sekali rontgen saja. Aman. Apalagi ada rujukan dari dokter spesialis anak. Namun anak saya ternyata dirontgen berkali-kali. Tepatnya lima kali. Seharusnya hanya dirontgen tiga kali, tetapi dua kali posisinya tidak tepat, sehingga harus diulang. Waktu itu saya sempat marah. Sampai membentak si petugas saking kesalnya. Apalagi bayi saya juga terus-terusan menangis. Mungkin tidak nyaman.

Bayangkan saja usia tiga bulan harus dirontgen. Posisinya tidak hanya berbaring, tetapi sampai diangkat-angkat segala. Salah pula hingga berkali-kali. Selain itu, ada kata-kata salah satu petugasnya yang menurut saya kurang etis. Ia bilang, “anak ibu tidak punya anus ya?” Langsung bertanya seperti itu tanpa tendeng aling-aling. Tidak ada tambahan kata maaf lagi sebelumnya sebagai ungkapan sopan santun.

Saya jawab, bayi saya baik-baik saja. Hanya sembelit. Dia punya anus sama seperti bayi normal yang lain. Saya tidak terbayang bila bayi saya betulan tidak punya anus, dan ditanya seperti itu. Mungkin sudah menangis. “Baper.”

Sampai sekarang saya masih menyesal mengapa saat itu tidak pergi saja dan mengabaikan anjuran dokter anak tersebut. Apalagi ternyata hasil rontgennya baru bisa diambil satu minggu kemudian. Selain itu, saat kami akan kembali ke dokter anak tersebut, si dokter sudah tutup praktek. Jam prakteknya sudah keburu berakhir untuk hari itu. Dengan kesal akhirnya kami pulang. Sambil memikirkan cara lain untuk mengatasi sembelit si kecil.

Bila ragu dengan hasil diagnosis dokter yang kita datangi, sebaiknya cari saja second opinion dari dokter lain. Saya menyesal mengapa mengabaikan keragu-raguan kami. Untung hingga sekarang anak kami baik-baik saja. Tidak ada efek samping juga dari rontgen tersebut. Namun, menjadi pelajaran juga. Bila ragu dengan diagnosis satu dokter. Lebih baik datang ke dokter lain untuk mendapat second opinion.

Namun setelah berlalu cukup lama, saya jadi mengambil sisi positifnya. Mungkin dokter tersebut hanya bertindak hati-hati. Khawatir bayi saya kenapa-kenapa. Takutnya bila disepelekan, nanti terlambat ditangani dengan tepat. Meski akhirnya dari hasil rontgen, anak kedua saya itu baik-baik saja. Memang hanya sembelit biasa.

“Diobati” dengan Trik Orang Tua Zaman Dulu

Sebelum dibawa ke dokter, mertua sebenarnya sudah menyarankan agar sembelit anak kami diobati dengan trik orang tua zaman dulu. Sabun dipotong memanjang, kemudian dimasukkan ke dalam (maaf) dubur bayi. Hanya beberapa kali dimasukan, (maaf) feses biasanya langsung keluar.

Mertua saya bilang, selain ASI diserap tubuh dengan sempurna, sembelit juga bisa dikarenakan bayi belum bisa mengejan dengan sempurna. Sabun bisa membantu melancarkan BAB. Namun waktu itu, saya sudah antipati duluan. Gila saja, (maaf) dubur bayi saya dicoblos-coblos dengan menggunakan sabun.

Akhirnya kami bawa ke dokter dengan harapan mendapat obat pencahar atau prebiotik. Namun ternyata malah jauh panggang dari api. Si dokter anak yang kami datangi, terlalu “lebay” menanggapi. Akhirnya dengan sangat terpaksa, esok paginya setelah si kecil sembelit selama 15 hari, saya dan suami melakukan trik itu juga. Dan, berhasil.

Ikuti Anjuran Dokter

Saat bayi saya masih hitungan minggu, dokter spesialis anak yang membantu saat persalinan, memberikan prebiotik. Saat itu ia mengatakan, anak kedua saya dilahirkan secara caesar sehingga imunitas dan proses penguatan pada saluran cerna tidak sebaik bayi yang dilahirkan secara normal.

Namun karena saat diberikan prebiotik itu bayi saya terus menerus BAB, akhirnya dihentikan tanpa konsultasi kembali ke dokter anak. Padahal bayi baru lahir hingga usia 30 hari memang normal BAB lebih dari tiga kali selama masih berampas. Namun, saat itu kami terlalu khawatir.

Mungkin salah satunya karena itu juga anak kedua saya mengalami sembelit lumayan parah. Wallahuallam. Setelah mengalami sembelit selama dua minggu, dokter anak yang biasa kami kunjungi kembali meresepkan prebiotik tersebut. Kali ini diberikan ke si bayi hingga habis.  Kini usia anak kedua saya sudah 10 bulan. Sudah tidak pernah lagi sembelit.

Berdasarkan anjuran dari ibu-ibu komunitas menyusui, salah satu cara agar bayi terhindar dari sembelit adalah sang ibu mengkonsumsi prebiotik secara berkala. Selain itu, bila sudah berusia diatas enam bulan, diusahakan diberi makanan pendamping ASI empat kuadran dengan komposisi seimbang, yakni karbohidrat, protein hewani, protein nabati, dan serat.

Saat membuat makanan pendamping ASI juga harus diperhatikan. Jangan sampai terlalu banyak memberikan makanan yang tinggi serat. Bila karbohidratnya sudah tinggi serat, usahakan sayuran atau protein nabatinya yang bukan berserat tinggi.

Tidak seperti orang dewasa yang semakin banyak mengkonsumsi serat, semakin lancar BAB. Untuk bayi justru bila terlalu banyak mengkonsumsi serat, lebih riskan terkena sembelit. Namun, kondisi setiap bayi berbeda. Ada juga yang tidak terpengaruh meski lumayan banyak diberi makanan yang sangat tinggi serat.

Semoga anak-anak kita selalu sehat. Salam Berbagi Cerita! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *