Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Kesal karena Anak Suka Membangkang? Jangan-jangan Kita yang Keliru Menyampaikan

Gambar diambil dari kompas.com

Pernah tidak sih merasa kesal hingga ke ubun-ubun karena merasa anak tidak patuh? Duh padahal, jangan-jangan bukan si anak yang keras kepala dan suka membangkang, tetapi mungkin cara penyampaian kita yang tidak tepat.

Hiduplah Endonesia Raya.

Pekik saya dengan lantang. Tangan saya tak henti bergerak ke atas dan ke bawah laksana seorang pemimpin paduan suara. Saat itu saya memang sedang menjadi salah satu kandidat obade. Bukan salah satu sepertinya, tetapi satu-satunya. Tidak ada kandidat lain yang dicalonkan selain saya.

Saya masih ingat, waktu itu kelas enam SD. Ada acara khusus untuk mememeriahkan salah satu acara. Lupa acara apa.  Acara tersebut melibatkan beberapa sekolah. Setiap sekolah sepertinya diberi tugas masing-masing. Sekolah saya kebagian menyediakan tim paduan suara untuk menyanyikan lagi-lagu nasional, baik dengan bernyanyi, maupun dengan menggunakan alat musik.

Nah, entah apa pertimbangannya waktu itu, saya yang terpilih sebagai obade. Saya diminta menghadap salah satu guru sambil menyanyikan potongan lagu Indonesia Raya. Dengan pede dan tangan teracung, saya bernyanyi, “Hiduplah Endonesia Raya.”

Guru tersebut menggelengkan kepala, “tidak begitu, coba ulang kembali.”

“Hiduplah Endonesia Raya,” saya bingung. Apa yang salah ya? Nada lagu sepertinya sudah betul, begitu juga dengan gerakan tangan saya. Sebelum bertemu guru tersebut saya sudah berlatih, baik nada maupun gerakan tangan saat memandu para paduan suara, dengan wali kelas.

Guru tersebut menggelang kembali, “Ibu contohkan ya. Hiduplah Indonesia Raya.”

“Hiduplah Endonesia Raya,” ulang saya. Berapa kali mencoba masih dianggap tidak sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya dengan tidak enak hati, guru tersebut bilang saya lebih baik menjadi anggota paduan suara saja. Untuk obade, akan diambil dari salah satu anggota paduan suara, bertukar tempat dengan saya.

Saat itu, saya kecewa tidak kecewa. Namun yang pasti, saya bingung. Saya bertanya-tanya, apa kesalahan saya? Mengapa guru tersebut tidak menjelaskan? Mengapa hanya mencontohkan? Padahal saya sepertinya bisa mengikuti arahan yang dicontohkan guru tersebut.

Beberapa bulan kemudian saya baru tahu jawabannya. Ternyata saya salah mengucapkan kata Indonesia. Seharusnya Hiduplah Indonesia Raya, mejadi Hiduplah Endonesia Raya. Duh, padahal seandainya waktu itu guru tersebut memberi tahu seharusnya menyebutkan dengan kata in, bukan en, mungkin saya lebih ngeh.

Jelaskan Dimana Letak Kesalahan Tersebut

Mengajari anak kecil berbeda dengan mengajari orang dewasa. Kita harus lebih rinci menjelaskan di mana kesalahan tersebut, baru kemudian mencontohkan. Bukan hanya mencontohkan yang betrul, tetapi juga harus menjelaskan dimana letak kesalahan yang dilakukan.

Percaya deh, alih-alih berhasil mengikuti apa yang diarahkan, kita malah gemas sendiri. Alhasil mencari jalan pintas. Kalau untuk kasus saya, cari saja yang memang sudah bisa menyanyikan petikan lagu Indonesia Raya dengan benar. Masalah selesai, dan si bu guru tersebut tidak pusing harus menunggui saya bernyanyi dengan benar.

Dulu saya sering gemas sendiri dengan anak sulung saya. Suka misah-misuh. Kesal. Letih mencontohkan, tetapi  dia tidak juga bisa mengikuti contoh yang saya berikan. Lantas saya ingat pengalaman saya sendiri sewaktu kecil dulu. Alhasil pelan-pelan saya beri tahu kesalahannya, lalu diberi contoh bagaimana yang benar.

Ternyata memang lebih berhasil. Anak kecil terkadang bukan tidak mau mengikuti arahan orang tua –yang seringnya bikin kita naik darah, tetapi tidak tahu mana yang tidak sesuai dengan arahan tersebut. Tugas kita yang memberi tahu. Sejak menerapkan seperti ini, luamyan kadar kesal sedikit berkurang. Walaupun terkadang suka lupa juga dan sudah marah-marah duluan. Setelah letih marah, baru ngeh dengan metode ini.

Jelaskan Lebih Rinci, Jangan Menggunakan Kalimat Multi Tafsir

Ngepel kok tidak ada bekasnya.

Saat kecil saya pernah mendengar kalimat tersebut diucapkan nenek saya. Waktu itu saya bingung, bertanya dalam hati, memang kalau mengepel harus ada bekasnya ya? Namun karena tidak dipermasalahkan lebih lanjut. Usai mengepel teras samping dan depan rumah tersebut, saya langsung mengerjakan aktivitas lain.

Saat esok harinya nenek saya mengucapkan kalimat yang sama. Saya jadi kepikiran. Akhirnya biar hasil pel tersebut berbekas, saya basahi air pelnya dengan air banyak-banyak. Sehingga, lantai tersebut tidak hanya lembab, tetapi juga seperti disiram air. Namun, bukannya makin bersih, malah lantai terlihat makin kotor.

Setelah sedikit lebih besar, saya akhirnya tahu makna kalimat yang diucapkan nenek saya. Kalimat “ngepel tidak ada bekasnya” itu bukan berarti aya harus meninggalkan bekas di lantai berupa air, tetapi ternyata hasil pelan saya tidak bersih. Sehingga, tidak terlihat kalau lantai tersebut sudah di pel.

Hadeeh, padahal kan bisa ya menggunakan kalimat mengepel itu harus bersih, tidak boleh ada sisa debu yang terlihat, tidak boleh ada sisa tapak kaki yang tertinggal, tidak boleh ada sisa-sisa tetesan air yang menggenang. Setelah itu mungkin dicontohkan bagaimana cara mengepel yang diharapkan.

Setelah tahu, akhirnya saya bisa mengepel dengan baik. Ternyata harus disapu dulu yang bersih lantainya. Setelah itu dipel dengan kain pel bersih yang tidak terlalu basah. Setelah lantai kering, di sapu kembali agar lantai terlihat lebih bersih maksimal. Usai dipel biasanya masih suka ada debu atau serpihan-serpihan kotoran kecil. Sehingga, harus di sapu ulang.

Jelaskan Alasan dengan Rinci

Terkadang kita sebagai orang tua lebih sering melarang, tidak boleh begini, tidak begitu. Atau menyuruh, harus begini, harus begitu. Namun, kita tidak pernah menjelaskan secara gamblang mengapa kita tidak boleh begini, mengapa kita harus begitu.

Kita seringnya hanya mau, anak mengikuti apa yang kita perintahkan. Padahal sebagai seorang anak yang umumnya memiliki rasa ingin tahu lebih besar, justru semakin penasaran bila dilarang melakukan sesuatu. Sebaliknya, semakin keras kepala untuk membangkang melakukan sesuatu yang diperintahkan.

Masih ingat tidak sih cerita masa kecil mengenai ibu bebek yang melarang anak-anaknya main ke sungai. Setiap ibu bebek itu meninggalkan sarang, selalu bilang ke anak-anaknya, jangan pernah main ke sungai. Namun, ia tidak pernah menjelaskan mengapa anak-anak tersebut tidak boleh bermain ke sungai.

Akhirnya karena sering dilarang, anak-anak bebek tersebut menjadi penasaran. Mereka justru malah main ke sungai dan hanyut. Ternyata ibu bebek melarang anak-anaknya ke sungai karena anak bebek belum bisa berenang dengan baik, terlebih di air yang berarus deras. Ia khawatir hanyut.

Namun, karena tidak pernah di warning dengan bahaya tersebut, bebek-bebek itu malah melakukan apa yang dilarang. Alhasil si ibu bebek sedih karena kehilangan semua anaknya. Seandainya saja ibu bebek tersebut menjelaskan ke anak-anaknya alasan ia melarang mereka bermain ke sungai. Mungkin musibah tersebut tidak terjadi.

Gara-gara membaca cerita ini, saya selalu berupaya menjelaskan ke buah hati mengapa saya melarang anak saya melakukan ini, atau harus melakukan itu. Biasanya bila tahu risiko atau manfaat dari yang dilarang atau yang disarankan, anak akan lebih mengikuti apa yang diarahkan oleh orangtua.

Sebagai orang tua dua anak yang masih berusia delapan dan satu tahun, saya juga masih harus banyak belajar. Saya menuliskan ini sebagai pengingat diri juga. Meski sudah mulai menerapkan, terkadang suka amnesia juga hehe. Marah duluan, tanpa melakukan seperti yang saya sudah tuliskan di atas. Salam! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *