Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Mengapa Saat Mendampingi Anak Belajar Kita Lebih Rentan Tersulut Emosi?

Foto diambil dari id.theasianparent.com

Mengapa ya kalau mengajari anak sendiri, suka berubah jadi orang yang tidak sabaran, jadi si “sumbu pendek”?

Saat musim ujian anak Sekolah Dasar beberapa waktu lalu, status tersebut cukup banyak berseliweran di timeline facebook. Ada lumayan banyak daftar teman saya di media sosial tersebut yang menggunggah status yang mirip-mirip seperti itu. Waktu itu, saya pun nyaris membuat status yang sama. Namun urung. Saya akhirnya lebih memilih ikut berkomentar (berbalas-balasan) di status yang sudah lebih dulu dibuat teman-teman saya di facebook.

Ada Banyak yang Mengalami

Saya mulai merasa tidak sabaran mengajari anak sendiri saat si sulung masuk SD. Waktu itu saya berpikir mungkin pengaruh hormon. Kala anak paling besar mulai belajar di SD saya memang sedang hamil anak kedua. Saya menyalahkan hormon karena saat buah hati saya masih duduk dibangku TK, tidak pernah seemosi itu kala mengajari pelajaran sekolah.

Namun ternyata, setelah melahirkan pun saya tetap suka emosi saat menemani anak sendiri belajar pelajaran sekolah. Kadang suka sesak sendiri karena menahan luapan emosi. Sesekali bahkan tak jarang suara meninggi beberapa oktaf sambil menunjuk-nunjuk buku paket atau buku tulis sekolah.

Saya bahkan sempat merasa, apa saya berubah kepribadian menjadi ibu yang pemarah. Ibu yang tidak sabaran. Hingga akhirnya saya mengobrol dengan salah satu kerabat suami. Ia dan suami terkenal sangat sabar kepada seluruh buah hatinya. Akan tetapi, saat mengajari anak pelajaran sekolah, ia dan suami katanya sering terpancing emosi. Sang suami bahkan pernah menyiramkan air yang ada di dalam gelas yang kebetulan ada di atas meja belajar ke muka sang anak saking emosinya.

Setelah mengobrol dengan beberapa kawan dan kerabat, membaca status beberapa teman di media sosial, emosi saat mengajari anak sendiri pelajaran sekolah ternyata dialami banyak orang tua. Uniknya, orangtua-orangtua tersebut sebenarnya termasuk orangtua yang sabar. Beberapa bahkan berprofesi sebagai pengajar yang sangat terkenal baik hati kepada yang diajar. Tidak mengerti, diajari ulang hingga betul-betul mengerti. Namun, katanya saat mengajari anak sendiri, entah mengapa suka emosi.

Saking emosinya, bahkan ada yang sampai terkena serangan jantung dan hampir meninggal. Hal tersebut seperti yang dikabarkan kompas.com. Pada artikel tersebut diceritakan, ada seorang ibu di Cina yang terkena serangan jantung dan nyaris meninggal gara-gara kesal saat mengajari sang anak pelajaran Matematika. Dadanya tiba-tiba sesak karena emosi anaknya tidak mengerti juga meski sudah diajari berkali-kali.

Mengapa Mengajari Anak Sendiri Cenderung Lebih Emosi?

Mengajari anak sendiri materi pelajaran di sekolah umumnya memang lebih menguras emosi. Alasannya kita sebagai orangtua, merupakan filter terakhir dari si buah hati. Saat guru di sekolah mengajari materi pelajaran tersebut, dan si anak belum paham meski sudah dijelaskan berkali-kali, biasanya sang guru akan meminta agar si orang tua membantu menjalaskan di rumah.

Nah, bila di rumah sudah dijelaskan berkali-kali oleh si orang tua dan si anak belum mengerti juga, lalu siapa lagi yang akan mengajari? Guru les? Aka guru bimbingan belajar? Kalau ikut bimbingan belajar, kalau ikut les. Saya pribadi, karena anak masih kelas dua SD, saya memilih mengajari sendiri di rumah. Usai sekolah, anak tidak diikutkan bimbingan belajar.

Selain itu, orang tua biasanya baper. Saat tahu pas diajari tidak bisa-bisa, langsung panik. Nanti pas ulangan harian atau semester bagaimana jawabnya. Di rumah saja dibimbing tidak bisa-bisa, bagaimana bisa si anak mengerjakan sendiri soal tersebut di sekolah. Padahal terkadang pas ujian, si anak bisa mengerjakan. Pas latihan di rumah tidak mengerti-ngerti karena terkadang efek jenuh.

Bosan seharian sekolah –anak saya sekolah dari pukul 07.00 sampai 15.00 WIB, sampai rumah dipaksa belajar lagi, terlebih bila esok harinya ada ulangan harian. Mata yang sudah “lima watt” terkadang salah melihat angka saat mengerjakan soal Matematika. Alhasil jawaban yang ditulis salah. Diomelin, diberi soal latihan lagi yang lumayan banyak. Makin si anak jenuh.

Sebenarnya wajar bila kita khawatir saat si buah hati tak juga mengerti saat mengulang pelajaran sekolah di rumah. Bila ada apa-apa dengan nilai-nilai anak di sekolah, kita sebagai orangtua yang akan menanggung konsekuensinya. Guru hanya sekadar prihatin. Apalagi bila sudah (merasa) maksimal membimbing.

Itu makanya mungkin saat anak saya TK, saya asik-asik saja. Tidak merasa stress. Tidak ada yang tidak naik kelas saat TK hanya karena tidak bisa mengikuti pelajaran kan? Nah, pas SD, bila dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran, ada kemungkinan tinggal kelas.

Itu makanya mungkin banyak orang tua yang lebih emosional saat mengajari anak sendiri belajar. Apalagi pelajaran SD sekarang lumayan sulit dibandingkan pelajaran SD zaman old. Anak kelas dua saja sudah belajar kali dan bagi. Angkanya pun sudah puluhan hingga ratusan. Buka lagi dari angka  satu sampai 10.

Menyesuaikan Metode Belajar

Letih selalu emosional setiap kali mengajari anak di rumah. Saya mencoba mencari metode yang tepat. Tepat untuk saya agar tidak lagi emosional, tepat juga untuk anak saya agar ia bisa memahami materi yang diajarkan. Saya ternyata suka emosi kala anak saya tidak memperhatikan saat saya menerangkan. Alhasil saya tidak lagi menjelaskan materi pelajaran secara verbal.

Untuk pelajaran hapalan, saya buat soal-soal secara tertulis. Saya meminta anak saya mengisi soal satu per satu. Sebelum ditulis, ia harus menyebutkan dulu jawabannya. Bila betul, bisa langsung ditulis, bila salah saya beri tahu jawaban yang betul. Setelah semua soal terisi, saya hapus semua jawaban tersebut. Saya akan minta anak saya menulis ulang jawaban tersebut tanpa bantuan jawaban dari saya. Bila semua soal dijawab dengan benar, belajar selesai. Bila masih ada yang salah terus diulang.

Bila soal matematika, saya jelaskan dulu sebelumnya, kemudian diberi beberapa soal yang setipe. Persis sama, hanya diganti angka. Bila mampu menjawab dengan betul, belajar selesai. Bila ada yang masih salah terus diulang. Anak sulung saya sedikit kurang teliti. Terkadang saat ulangan atau ujian suka ada soal yang terlewat tidak diisi. Dengan metode tertulis seperti ini, sekalian latihan agar tidak ada lagi soal yang terlewat tidak diisi. Padahal jawabannya ia tahu.

Agar emosi tidak memuncak, saya selalu mengupayakan belajar dari jauh-jauh hari. Bila waktu belajar mepet, sementara materi yang harus dipelajari lumayan banyak, biasanya suara rawan melengking. Terlebih bila si anak malah asik membuat doodles dibuku tulis, bukannya  ngebut belajar.

Terkait hasil ulangan/ujian, untungnya saya tidak terlalu memaksakan hasil terbaik. Selama anak saya sudah belajar maksimal saya terima apapun hasilnya dengan lapang dada. Saya tipikal orang tua, selama nilai masih diatas batas minimal, oke, tidak harus hasil sempurna. Salam! (*)

3 comments on “Mengapa Saat Mendampingi Anak Belajar Kita Lebih Rentan Tersulut Emosi?

  1. Yup.. termasuk saya juga yang suka emosi kalo nemenin belajar anak..
    Bisa jadi karena capek badan atau mata yang udah mulai ngantuk di tambah ank yang nggak cepat tanggap jadi makin naik darahnya.. hehe

  2. Saya pikir cuma saya yang ngga sabaran saat mengajari anak sendiri belajar, meski tak sampai menyiram air, hehe. Ternyata ada juga temen senasib.

    Ya, kadang kita perlu menurunkan sedikit standar kita terhadap nilai anak di sekolah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *