Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Takjub! Kala Menyusuri 1001 Pesona Alam Bromo

Saya saat berkunjung ke Bromo. | Dokumentasi Pribadi

Jangan terlambat ya Bapak dan Ibu, nanti saya jemput tepat pukul 01:00 WIB, agar sebelum subuh kita sudah sampai di Penanjakan Bromo.

Kalimat dari si pemilik jeep tersebut terus terngiang. Semakin mencoba memejamkan mata, semakin saya tetap terjaga. Seperti anak kecil yang besok akan pergi piknik, saya gelisah dan tidak bisa tidur. Saya terlalu bersemangat. Saya juga takut terlambat. Saya khawatir tidak bisa bangun sesuai waktu yang sudah ditentukan. Apalagi si bapak Pemilik Jeep itu juga bilang, terlambat sedikit saja sampai di Puncak Mentigen, kami akan kehilanagn momen melihat pemandangan matahari terbit yang paling indah.

Jeep merah yang kami sewa. | Dokumentasi Pribadi

Alhasil saya akhirnya berinisiatif mengajak ngobrol dua rekan seperjalanan yang sama-sama perempuan. Setelah ngalor-ngidul tanpa ujung, diselingi dengan menyantap sepiring besar kentang goreng, kami akhirnya mulai mengantuk. Tak lama kami sudah tertidur di kamar hotel masing-masing. Nyenyak. Saya bahkan baru terbangun saat alarm ponsel meraung-raung tanpa henti.

Meski dengan kepala yang sedikit pening akibat kurang tidur, saya tetap semangat menuju lobby Best Western OJ Hotel Malang. Seolah dikomando, saya dan empat rekan dari Batam, Kepulauan Riau, berbarengan keluar kamar, bergegas menuju elevator untuk segera turun dan berangkat ke Bromo.

Berbelanja Syal hingga Topi Kupluk

Saat saya sudah duduk manis di jok belakang jeep berwarna merah, rasa kantuk kembali hadir. Meski berkali-kali mengerjapkan mata sambil melihat-lihat pemandangan Kota Malang dari balik kaca mobil, rasa kantuk tak kunjung hilang. Saya akhirnya menyerah, memilih tidur sejak awal perjalanan.

Sebelum menanjak ke Puncak Mentigen, ngopi dulu. | Dokumentasi Pribadi

Saya baru terbangun saat kami sampai di pintu masuk Objek Wisata Gunung Bromo. Dengan rasa kantuk yang masih mendera, saya mencoba turun dari jeep, tertatih menuju penjual kupluk dan syal. Pemilik jeep menyarankan kami membeli benda-benda tersebut untuk membantu menghalau dingin. Namun karena merasa sudah menggunakan baju tebal panjang yang tertutup hingga leher, ditambah jaket, saya hanya membeli topi kupluk seharga Rp10.000.

Pasir Berbisik. | Dokumentasi Pribadi

Setelah melihat kami selesai membeli kupluk, sarung tangan dan syal, si pemilik jeep menyarankan agar kami mampir (maaf) ke toilet yang letaknya tidak begitu jauh dari para penjual kupluk dan syal tersebut. Ia mengatakan, perjalanan ke Puncak Mentigen masih lumayan jauh, apalagi udara dingin juga sudah mulai menerpa. Khawatir ditengah jalan kami tak kuasa menahan (maaf) pipis.

Merasakan Racikan Kopi Penduduk Sekitar

Sebelum memulai perjalanan menaiki ratusan tangga menuju Puncak Mentigen, si pemilik jeep membawa kami ke deretan kedai-kedai yang menjual aneka minuman dan makanan ringan. Kami mampir ke salah satu kedai yang dikelola oleh seorang bapak separuh baya. Masing-masing memesan secangkir kopi.

Berfoto ala-ala. | Dokumentasi Pribadi

Menyesap kopi hitam panas ditengah udara dingin memberikan sensasi tersendiri. Saya yang seumur-umur tidak suka kopi, sedikit ketagihan. Hampir saya akan meminta gelas kedua, bila salah satu teman tidak mengingatkan untuk tidak meminum kopi terlalu banyak.

Usai puas menyesap kopi dan mengudap makanan ringan, kami kembali ke jeep menuju Penanjakan. Setelah beberapa meter berkendara, pemilik jeep menghentikan kendaraan. Ia mengatakan, hanya bisa mengatar kami sampai titik tersebut. Untuk melanjutkan perjalanan kami bisa menyewa kuda seharga Rp75.000/ekor atau berjalan kaki sekitar 500 meter.

Bebas berfoto dengan berbagai ekspresi hehe. | Dokumentasi Pribadi

Kami memilih berjalan kaki. Namun kondisi alam yang begitu pekat, ditambah jalan berbatu-batu, baru seperempat perjalanan kami menyerah. Kami akhirnya memilih naik kuda untuk melanjutkan perjalanan. Kebetulan ada lima kuda yang dituntun pemiliknya untuk mengikuti perjalanan kami sejak awal.

Kami berpikir aman nih, naik kuda sampai Puncak Mentigen. Namun ternyata tidak. Saat mendekati tangga yang berjumlah “ratusan”, kami diturunkan dari kuda. Kami diminta naik sendiri menapaki tangga-tangga itu satu persatu. Jujur, lumayan menguras tenaga lho. Jadi sebisa mungkin siapkan fisik agar kuat melihat sunrise di Puncak Mentigen.

Melihat Matahari Terbit Terindah

Jujur, saat menaiki satu persatu tangga yang lumayan terjal, saya sempat menyesal ikut trip tersebut. Saya dalam hati bilang, ini sih menyiksa diri. Bangun tengah malam, naik “ratusan tangga” di tengah udara yang begitu dingin menggigit, sangat-sangat kurang kerjan.

Sayang hasil jepretan tak seindah pemandangan asli. | Dokumentasi Pribadi

Apalagi saat sampai di Puncak Mentigen, saya (maaf) kebelet pipis. Sudah putar-putar mencari toilet tidak juga ketemu. Akhirnya (maaf lagi) saya pipis di salah satu sudut bangunan yang terbuka, ditutupi teman seperjalanan saya yang perempuan.

Saat itu sudah banyak wisatawan nusantara maupun mancanegara yang sudah berkumpul. Mereka seolah berlomba membooking tempat yang paling strategis untuk melihat matahari terbit. Beberapa bahkan ada yang naik ke atas bukit, hingga ke atap bangunan yang terbuat dari semen.

Saya yang pada dasarnya bukan anak pecinta alam, hanya planga plongo melihat tingkah para wisatawan tersebut. Saat salah satu teman mengajak saya naik ke atas bukit, saya menolak dengan halus, meski kemudian –karena “dipaksa”– ikut juga ke sana. Saat sampai, saya tidak melihat apa-apa, hanya langit hitam pekat. Saya akhirnya turun kembali.

SErasa sedang berada di negeri di atas awan. | Dokumentasi Pribadi

Beberapa belas menit kemudian, saya melihat wisatawan mulai “heboh” mereka mulai menggunakan berbagai perkakas yang dibawa. Ada yang berkali-kali menjepretkan kamera, ada yang tak henti mengacungkan teropong. Saya yang penasaran bergegas kembali naik ke atas bukit.

Ternyata pemandangan yang tersaji memang luar biasa indah. Warna jingga, kuning, merah seolah berpadu menjadi satu, membentuk sebuah warna baru yang begitu sulit untuk dilukiskan. Semakin fajar menyingsing sempurna, pemandangan yang tersaji semakin indah. Apalagi kabut juga mulai menebal.

Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi

Saat berada di Puncak Mentigen itu, kita seolah sedang berada di atas awan. Pada sebuah negeri yang sekelilingnya hanya berisi awan. Alhasil, bila awalnya saya menyesal ikut trip tersebut, belakangan saya bersyukur bisa berkunjung ke Gunung Bromo, melihat pemandangan matahari terbit yang paling indah, melihat Gunung Semeru dan Gunung Batok yang begitu memikat, berbalut gumpalan-gumpalan putih.

Setelah puas berfoto di Puncak Mentigen, kami kembali turun. Kami berkeliling mengambil gambar di Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies. Ternyata, sunrise bukan satu-satunya pemandangan memikat yang disajikan Taman Wisata Gunung Bromo, ada satu spot lain yang juga tak kalah cantik, yakni pemandangan deretan bukit-bukit di sekitar Bukit Teletubbies. Bukit-bukit itu berdiri kokoh. Selintas mirip bukit-bukit yang ada di Switzerland yang sering saya lihat melalui televisi atau flyer wisata.

Siapkan Fisik

Bila ingin melihat matahari terbit dari Puncak Mentigen harus menyiapkan fisik yang lumayan kuat. Salah satu teman perjalanan saya ada yang sempat mau pingsan saking tak kuatnya menaiki tangga. Ia duduk kelelahan, hampir menyerah menuju puncak. Beruntung setelah memaksakan diri, bisa juga sampai. Meski setelah sampai, hanya bisa tiduran di sebuah kursi beton sebuah bangunan.

Tidak harus sewa jeep, bisa juga membawa motor sendiri. | Dokumentasi Pribadi

Pakai juga baju tebal berlapis. Udara di Gunung Bromo dingin luar biasa. Saking dinginnya, terasa seperti menyelusup hingga ke tulang. Itu mungkin karena saya terbiasa berteman dengan “rasa gerah” karena saya berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Selain itu, agar nyaman dan kaki tidak dimasuki pasir, pakai sepatu flat tertutup. Jangan lupa pakai kaos kaki. Selamat menyusuri indahnya Bromo! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *