Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Ini Uang Zaman Old yang Diberlakukan di Kepulauan Riau

Uang KRRp. | Dokumentasi Pribadi screenshot dari Buku Mengungkap Fakta Pembangunan Batam.
Uang KRRp. | Dokumentasi Pribadi screenshot dari Buku Mengungkap Fakta Pembangunan Batam.

Tahukah Anda? Kepulauan Riau sempat memiliki mata uang sendiri yang berbeda dengan mata uang yang beredar di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Berdasarkan Buku “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam” yang diterbitkan BP Batam, penerbitan uang secara khusus tersebut bermula dari konfrontasi yang sempat terjadi antara Indonesia dan Malaysia.

Akibat insiden “Ganyang Malaysia” yang terjadi pada awal 1960-an itu, pemerintah menerbitkan uang khusus yang dikenal dengan nama KRRp. Uang tersebut berlaku di Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, yakni Batam, Tanjungpinang, Lingga, Karimun, dan Pulau Tujuh.

Pemerintah pusat menerbitkan uang tersebut untuk menekan dominasi dolar Malaya. Letak Geografis Kepulauan Riau yang lebih dengan Malaysia dan Singapura dibanding dengan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia membuat dominasi dolar Malaya yang digunakan sebagai alat tukar di Malaysia dan Singapura sangat mendominasi.

Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan uang KRRp sebagai alat tukar dan pembayaran yang sah di wilayah Kepulauan Riau sejak 15 Oktober 1963. Uang tersebut berlaku sekitar 8,5 bulan. Hal tersebut dikarenakan pemerintah memberlakukan uang rupiah yang sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia.

Saat awal diterbitkan,  nilai tukar KRRp3,06 setara dengan USD1 . Sedangkan bila ditukar dengan rupiah umum, KRRp1 setara dengan Rp14,70. KRRp terdiri dari uang kertas dan uang logam dengan beragam pecahan mulai dari 1 sen hingga KRRp100 yang ditandatangani oleh pejabat yang berbeda.

Untuk uang kertas pecahan KRRp1 dan KRRp2,5 diberi gambar Presiden Soekarno dan ditandatangani Notohamiprodjo, kemudian diberi tanda tahun 1961 dengan seri dimulai dengan huruf KR. Begitupula dengan uang kertas pecahan KRRp5, 10, dan 100, diberi juga gambar Presiden Soekarno. Bedanya uang pecahan ini ditandatangani oleh dua orang, yakni Soetikno Slamet dan Indra Kasoema. Selain itu, tanda tahunnya juga lebih tua satu tahun, yakni 1960. Sementara untuk uang logam diterbitkan pecahan 1 sen, 5 sen, 25 sen, dan 50 sen.

Saat ditarik dari peredaran, nilai uang KRRp1 setara dengan Mal$1, begitu juga dengan USD1 setara dengan KRRp1. Namun bila dibandingkan nilainya dengan rupiah umum, nilainya tetap lebih rendah yakni KRRp1 setara dengan Rp14,70, bukan KRRp1 setara dengan Rp1.

Tetap Ada yang Menggunakan Dollar Malaysia dan Singapura

Meski sudah menggunakan mata uang sendiri, dan sempat ada aturan bahwa mata uang asing harus diserahkan kepada pemerintah bila sudah melewati masa batas penukaran. Namun pada kenyataannya,saat itu jual-beli di kalangan masyarakat tidak sedikit yang msih menggunakan dollar Malaysia dan Singapura.

Apalagi khusus untuk pulau-pulau di sekitar Batam, kala itu sedikit sulit untuk mendapatkan pasokan bahan pokok dari dalam negeri. Saat itu Batam belum dibangun seperti saat ini. Kawasannya masih hutan. Batam mulai dikembangkan oleh Otorita Batam (kini BP Batam) sebagai sebuah daerah industri sejak awal 1970-an.

Waktu itu pulau yang sangat menggeliat adalah Pulau Sambu yang menjadi basis Pertamina (sebelumnya dikelola Shell Belanda), kemudian disusul Pulau Belakang Padang yang kala itu justru sempat menjadi wilayah induk bagi pulau-pulau lain, termasuk Pulau Batam yang kini justru jadi pulau utama dan menaungi pulau-pulau kecil sekitar sebagai sebuah kota.

Saat itu warga Sambu dan Belakangpadang umumnya mendapatkan pasokan kebutuhan pokok dari Singapura. Berdasarkan keterangan dari salah satu sesepuh yang kini tinggal di Pulau Belakangpadang, setidaknya setiap satu bulan sekali ia dan keluarga melancong ke Singapura untuk berbelanja kebutuhan pokok. Ia biasanya berbelanja beragam pakaian untuk diri sendiri maupun si buah hati.

Kebetulan saat itu sang suami masih bekerja di Pertamina dan mereka tinggal di Pulau Sambu. Perusahaan minyak tersebut memang menyediakan kapal khusus untuk membawa warga Sambu ke Singapura secara gratis. Warga Sambu yang umumnya adalah pegawai Pertamina memang sangat dimanjakan, saat itu air bersih, listrik, rumah, sekolah, hingga hiburan lain disediakan perusahaan secara gratis.

Selain pergi langsung, terkadang mereka juga menitip membeli berbagai keperluan kepada awak kapal yang secara berkala melintasi pulau tersebut. Terlebih bila ada kenduri untuk pernikahan atau hal lain, mereka bisa menitip berkilo-kilo daging dan sayuran melalui awak kapal tersebut.

Jarak Pulau Sambu memang sangat dekat dengan Singapura, begitupula dengan Pulau Belakangpadang. Bila Anda berkunjung ke Pulau Belakangpadang, dari pelabuhan bisa dengan jelas melihat bangunan-bangunan tinggi menjulang Singapura. Tidak perlu alat bantu teropong, melihat langsung tanpa menggunakan apapun sudah cukup jelas.

Beberapa Warga Sempat Miliki KTP Singapura

Begitu sering pergi pulang Sambu/Belakangpadang-Singapura, beberapa warga bahkan ada yang sempat memiliki KTP Singapura. Saat itu, pergi ke Singapura memang tidak seketat seperti saat ini. Bahkan terkadang tidak tidak memerlukan paspor, pergi ya pergi saja, tidak harus membawa surat ini itu.

Nenek dan kakek suami saya termasuk salah satu warga Batam yang sempat memiliki KTP Singapura. Namun setelah data kependudukan semakin diperketat, pemerintah Indonesia saat itu memberi pilihan, apakah tetap akan mempertahankan KTP Singapura dan menjadi warga negara sana, atau melepas identitas tersebut dan sepenuhnya menjadi WNI.

Melihat Indonesia yang begitu luas dan kaya akan sumber daya alam, tentu saja kakek-nenek tersebut lebih memilih Indonesia. Apalagi saat itu Singapura juga belum semaju seperti saat ini. Namun beberapa kerabat kakek-nenek tersebut ada yang lebih memilih menjadi warga Singapura, beberapa warga Malaysia. Alhasil saat Idul Fitri atau Idul Adha jangan heran bila banyak warga negara Singapura atau Malaysia yang pulang kampung ke pulau tersebut.

Begitupula saat memberi uang amplop hari raya, dulu tak sedikit warga Belakangpadang yang lebih nyaman memberi uang kepada anak-anak yang berkunjung dengan mata uang dollar Singapura, walaupun hanya S$1 atau S$2, namun sekarang sudah tidak ada lagi sepertinya sejak diperketat aturan harus menggunakan rupiah mereka lebih memilih memberi dengan rupiah, atau karena dollar Singapura semakin merangkak naik nilainya.

Begitupula dengan tempat makan di pusat perbelanjaan, dulu saat saya awal-awal tinggal di Batam pada medio 2010/2011, masih banyak tempat makan yang menawarkan harga dengan dua mata uang, rupiah dan dollar Singapura, namun sekarang tidak lagi. Mereka sekarang hanya menggunakan rupiah.

Apalagi sekarang aturannya sudah semakin ketat, bila melanggar bisa dikenakan sanksi. Selain itu memang sudah seharusnya kita menggunakan mata uang sendiri. Meski lebih dekat (dan lebih murah) ke Singapura atau Malaysia dibanding ke Jakarta, tetap saja Batam adalah bagian Indonesia. Sudah seharusnya mengikuti aturan Indonesia. Salam! (*)

2 comments on “Ini Uang Zaman Old yang Diberlakukan di Kepulauan Riau

Leave a Reply to Rya Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *