Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Sang Menantu (3)


Ilustrasi diambil dari steemet.com

“Ibu, Bapak, Dani mau menikah.”

Masih tersimpan rapi dalam ingatanku kalimat yang diucapkan Dani enam bulan lalu. Saat itu kami bertiga –aku, Dani, dan suami, sedang berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Saat ada jeda pariwara, tiba-tiba Dani mengucapkan kalimat tersebut.

“Nikah, Dan?” tanyaku memastikan. Aku yang menunggu momen tersebut sejak satu windu lalu, langsung mematikan televisi saking senangnya.

Dani hanya menangguk.

“Sama siapa?” suamiku bertanya.

“Yuni.”

“Yuni mana?” tanya suamiku lagi.

“Keponakan Pak Herman.”

Saat itu, aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan dengan siapa Dani menikah. Selama masih satu iman, aku setuju. Aku sudah lama meminta Dani untuk menikah, tetapi ia selalu menolak.

Padahal di kampung tempat aku tinggal, saat anak laki-laki sudah bekerja, biasanya tak lama ia akan menikah. Terkadang malah ada yang tidak kuliah, lulus SMA, bekerja, satu atau dua tahun kemudian langsung menikah.

Namun, Dani tidak. Sudah lulus kuliah, sudah bekerja, bahkan sudah menjadi kepala cabang, tak juga menikah. Padahal usia Dani juga tak lagi muda. Usianya sudah memasuki 32 tahun. Namun, setiap kali aku mendesaknya untuk segera menikah ia selalu memiliki beribu alasan untuk menolak.

Aku mungkin akan sedikit tenang kalau Dani memiliki pacar atau teman dekat wanita, tetapi hingga usianya mencapai 30 tahun tak ada satu pun wanita yang ia kenalkan sebagai teman dekat. Saat kuliah, ia selalu beralasan ingin fokus kuliah agar cepat lulus, saat sudah bekerja beralasan ingin fokus bekerja sehingga bisa mencapai karir maksimal.

Namun, bertahun kemudian tidak nampak juga ingin berumah tangga. Aku sudah lelah membujuknya, akhirnya aku biarkan saja. Aku tidak pernah lagi membahas mengenai pernikahan dengan Dani. Aku mencoba pasrah. Meski hatiku sedikit tidak tenang karena Dani merupakan anakku satu-satunya. Bila Dani memutuskan tidak menikah putuslah keturunan keluarga kami.

“Kalau begitu kapan mau lamaran, biar Ibu dan Bapak segera menemui keluarga Yuni,” kataku antusias. Aku langsung menanyakan kepastian tanggal, khawatir Dani berubah pikiran.

“Kalau Minggu depan boleh?” tanya Dani.

“Boleh,” aku dan suami menjawab serempak.

Usai percakapan mengenai lamaran dengan Dani, aku menjadi lebih sering keluar rumah. Aku sering pura-pura melintas di depan rumah Pak Herman. Aku ingin melihat lebih jelas bagaimana sosok Yuni. Namun sayangnya, Yuni jarang terlihat di rumah tersebut. Dari tetangga aku mendengar Yuni sibuk bekerja sebagai therapist di salah satu klinik kecantikan. Sehingga, jarang berada di rumah.

Pak Herman dan sang istri juga jarang terlihat di rumah. Mereka berdua sibuk bekerja sebagai buruh pabrik. Suami-istri tersebut sejak awal menikah memang lebih memilih menghabiskan waktu di pabrik untuk bekerja, dibanding lebih banyak di rumah. Mungkin karena mereka tidak dikaruniai anak kandung.

Namun bagiku, sebenarnya tidak penting sosok Yuni seperti apa. Selama satu agama dengan kami dan Dani suka, aku setuju. Sementara suamiku, bila aku setuju, ia pasti akan ikut setuju. Dani mau menikah saja bagiku sudah anugerah. Sehingga, aku tidak memusingkan lagi siapa calon istrinya.

Apalagi setelah aku ingat-ingat, sosok Yuni lumayan baik dan cantik. Kami sempat beberapa kali berpapasan. Biasanya seperti umumnya warga kampung, kami akan melempar senyum saat bertemu di tempat umum. Begitu pun dengan Yuni. Saat tak sengaja berpapakan ada seulas senyum yang tersungging.

*

Saat Dani dan Yuni akhirnya menikah, ada banyak tetangga yang menyambut baik. Mereka mengatakan tak salah aku menikahkan Dani dan Yuni, Yuni merupakan gadis yang sangat baik. Ia pasti akan menjadi menantu yang baik buat aku dan suami.

Namun setelah beberapa waktu berlalu, entah mengapa justru ada beberapa tetangga yang mengingatkanku agar aku berhati-hati dengan Yuni dan keluarga. Mereka katanya suka meminta-minta. Suka ngeret.

Aku sebenarnya tidak keberatan bila Dani berbagi rezeki dengan keluarga Yuni, tetapi bila dimanfaatkan, aku tidak terima. Aku tidak mau Dani dijadikan sapi perah demi memenuhi kebutuhan hidup mereka Aku mau Dani berbagi ke keluarga Yuni hanya seperlunya.

Meski aku dari kalangan berada, dan Dani merupakan pewaris tunggal, aku tetap mau Dani berusaha sendiri membangun perkonomian keluarga. Aku mau Dani mandiri. Tidak mengandalkan orang tua.

Aku juga keberatan bila Dani menjadi penopang keluarga Yuni. Toh orang tua Yuni masih sehat dan bugar. Sudah seharusnya mereka berusaha sendiri memenuhi kebutuhan mereka, bukan meminta dan memoroti sang menantu, apalagi besan.

Itu makanya, sejak mendengar kabar tidak sedap itu aku sedikit menjauh dari Yuni. Aku tidak mau terlalu dekat. Aku khawatir, bila hubungan kami terlalu dekat Yuni akan mulai berani memanfaatkanku meminta ini dan itu untuk kepentingan keluarganya. (bersambung/cucum suminar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *