Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Sang Menantu (1)


Ilustrasi diambil dari steemet.com

Duh… Bu Haji, punya anak cuma satu, sarjana, kepala cabang, kok disetujin nikah sama Yuni?!

Kalimat yang diucapkan Bu Nining, tetangga depan rumah, terus berdengung di telingaku. Meski sudah diucapkan satu minggu lalu, kalimat tersebut masih terus terngiang. Kalimat itu selalu muncul begitu saja, terutama saat aku sedang sendiri atau saat Yuni sedang berada di sekitarku.

Tak hanya Bu Nining yang menyayangkan aku merestui begitu saja pernikahan Dani, anak semata wayangku, dengan Yuni, ada beberapa tetangga yang lain juga. Hanya saja tetangga-tetangga tersebut tidak secara gamblang mengatakannya, seperti yang dilakukan oleh Bu Nining.

Secara tersirat, mereka menyesalkan Dani yang berasal dari keluarga terpandang, berpendidikan tinggi, memiliki karier mentereng, hanya menikah dengan Yuni yang berasal dari keluarga sangat sederhana. Saking sederhananya, orang tua Yuni sampai harus rela menitipkan anak gadisnya ke salah satu kerabat yang merupakan tetangga kami agar tetap bisa sekolah hingga tingkat SMA.

Keluarga Si Yuni itu tidak tahu malu. Sudah Si Yuni dibiayai sekolah oleh Pak Herman dan Bu Tisah, masih saja keluarganya minta ini dan itu. Setiap bulan ada saja yang diminta. Hati-hati, nanti lama-lama keluarganya minta sama Bu Haji. Atau morotin Dani. Sama kerabatnya saja berani, apalagi sama besan dan mantu sendiri.

Aku menghela napas dengan berat, saat ucapan Bu Nining itu kembali melintas dipikiranku. Satu sisi aku ingin mengabaikan ucapan itu, tetapi di sisi lain, ingin mencermati kata per kata dari kalimat itu. Jujur, aku khawatir dimanfaatkan, takut anakku dijadikan sapi perah oleh keluarga sang istri yang baru ia nikahi tiga bulan lalu.

Aku dan suami memang termasuk dari kalangan berada. Sawah dan ladang kami sangat luas. Mungkin yang terluas diantara penduduk kampung. Rumah kami juga sangat besar. Paling mewah diantara rumah-rumah lain.

*

“Bu, makan siang sudah Yuni siapkan,” ujar Yuni saat aku sedang duduk santai sambil menonton televisi.

“Makan duluan saja, Yun, Ibu masih kenyang,” jawabku. Entah mengapa, sejak mendengar peringatan dari Bu Nining mengenai keluarga Yuni, aku enggan untuk makan bersama dengan menantuku itu.

“Tidak apa-apa kalau Yuni makan duluan?” tanyanya ragu.

“Makan lah,” jawabku singkat.

Dari balik lemari televisi aku memperhatikan Yuni yang beranjak ke ruang makan. Perempuan berusia awal 20-an itu sebenarnya cukup akrab denganku. Sebelum Bu Nining mengungkapkan peringatan mengenai keburukan keluarga Yuni, kami sering menghabiskan waktu bersama.

Satu minggu sekali, Yuni secara rutin membantuku melakukan perawatan wajah dan badan. Biasanya kami melakukan perawatan tersebut sambil menonton televisi. Kebetulan bila siang hari, hanya ada kami berdua di rumah. Suamiku bekerja di kantor kecamatan, sementara anakku bertugas di sebuah bank swasta ternama. Mereka baru pulang menjelang magrib.

Kebetulan pula Yuni merupakan mantan therapist kecantikan di salah satu klinik kecantikan. Ia sangat berpengalaman bagaimana membantu mengencangkan wajah, mencerahkan wajah, hingga membuat kulit wajah dan badan terlihat lebih segar dan awet muda. Ia merupakan therapist andalan. Namun, sejak menikah dengan anakku, ia memilih mengundurkan diri.

Saat Bu Nining mengatakan hal buruk mengenai keluarga Yuni, aku sebenarnya sedikit tidak percaya. Hanya saja, Bu Nining bukan tipikal orang yang senang bergosip. Selain itu, kami sudah bertetangga cukup lama. Sehingga, tidak mungkin Bu Nining asal bunyi menjelekan keluarga Yuni. (bersambung/cucum suminar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *