Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Ini Dua Momen Terberat Saat Orang Terkasih Berpulang

Gambar diambil dari kompas.com

Saat orang terkasih berpulang, selalu menyisakan duka tersendiri. Terlebih bila sebelumnya orang yang paling kita kasihi itu tidak menunjukan tanda-tanda akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Masih beraktivitas seperti biasa, kalaupun sempat sakit, bukan tergolong sakit yang membahayakan.

Rasa sedih, pedih, bahkan tetap terasa hingga bertahun-tahun kemudian. Terutama saat tiba-tiba kangen, terus tersadar tidak bisa lagi dihubungi kecuali hanya lewat doa. Atau tiba-tiba terbawa mimpi, dan dalam mimpi tersebut, almarhum/almarhumah beraktivitas seperti biasa, berinteraksi, seolah masih hidup.

Namun, menurut saya pribadi, ada dua momen yang paling berat saat orang terkasih berpulang. Momen ini saya rasakan saat mama saya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Momen pertama adalah, sesaat setelah orang terkasih mengembuskan nafas terakhir. Momen kedua, saat akan dikebumikan.

Sikap Denial, Bukan Meninggal, Hanya Tertidur Sangat Nyenyak

Saat mama mengembuskan nafas terakhir saya sedang berada di kantor. Waktu Kamis sore, 20 Juli 2010, ada telepon tak terjawab dari salah satu istri sepupu. Ada lebih dari lima misssed called. Waktu itu saya sedang ke ruangan lain dan ponsel disimpan di atas meja kerja.

Saat melihat panggilan telepon itu, saya sudah merasa tidak karuan. Mama saya memang sempat sakit. Beliau sepertinya kecapekan karena mengurus saya yang sempat terkena gejala typhus. Hampir satu minggu saya terbaring tidak dapat melakukan apa-apa. Badan lemas, mulut pahit, dan perut mual. Saat saya sembuh, tiba-tiba mama saya drop.

Namun hari itu, mama saya sebenarnya sudah beraktivitas (hampir) seperti biasa. Apalagi beberapa hari sebelumnya juga sudah ke dokter. Pagi-pagi beliau menyiapkan saya susu. Bahkan akan menyetrikakan baju saya yang akan dipakai ke kantor, tetapi saya cegah.

Mama saya memang biasa menyetrika baju kerja saya pagi-pagi, menyiapkan sarapan, dan menyeduhkan susu. Saat saya duduk di bangku kuliah, saya sempat melarang mama melakukan hal tersebut. Namun, ternyata itu merupakan kesenangan tersendiri buat mama. Ada rasa puas tersendiri katanya. Akhirnya saya biarkan.

Saat ada beberapa panggilan masuk tak terjawab itu, saya langsung teringat mama. Pasti ada apa-apa. Saat itu, saya buru-buru menelepon balik istri sepupu. Istri sepupu saya itu bilang, mama mau dirawat di rumah sakit saja, dan saya diminta buru-buru pulang. Ternyata saat ditelepon itu, mama saya sebenarnya sudah tidak ada.

Perlu waktu sekitar 20-30 menit dari kantor ke rumah. Namun saat itu, saya berkendara lebih cepat. Sambil menangis terisak-isak, saya melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Meski istri sepupu tidak bilang, berkali-kali berkelebat dibenak saya bendera kuning yang dipasang di depan jalan masuk menuju rumah, tetangga-tetangga yang berduyun-duyun bertakziah ke rumah.

Waktu itu saya berpikir, kalau hanya sekadar mama dimasukan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, pasti waktu itu yang menelepon adalah bapak saya. Bukan istri sepupu. Kami bertiga –saya dan orangtua– termasuk tipikal yang malas merepotkan orang lain. Bila sanggup dilakukan sendiri, kami lakukan sendiri.

Dan benar saja, saat saya sampai di depan jalan menuju rumah, suasananya persis seperti yang berkelebat di benak saya saat di motor. Bendera kuning berkibar-kibar. Para tetangga berjalan menuju rumah. Bergerombol, yang perempuan mengenakan jilbab yang disampirkan.

Saat saya masuk ke dalam rumah, mama saya dibaringkan di ruang tamu. Beliau seperti tertidur. Tenang. Saat itu saya langsung menghambur. Meraung-raung. Berkali-kali saya berteriak agar mama saya terbangun. Badannya masih terasa hangat. Tidak seperti orang yang sudah meninggal.

Itu adalah momen yang paling berat yang saya rasa selama hidup. Saya rasanya tak percaya. Saya merasa mama hanya tertidur. Nyenyak. Sangat nyenyak. Saat saya tersadar mama tidak mungkin bangun kembali, tidak mungkin lagi melindungi saya, menenamni saya, rasanya saya merasa kosong. Entahlah sulit dilukiskan dengan apapun.

Hal terberat kedua saat mama saya meninggal adalah saat mama akan dikebumikan. Saat itu saya sangat terguncang karena menyadari saya akan benar-benar berpisah dengan mama. Saya tidak akan bisa lagi melihat mama. Jasadnya sudah akan dikubur. Hanya bisa melihat melalui foto, video, atau sekadar kenangan yang tertanam dalam benak. 

Manfaatkan Kesempatan yang Ada, Kita Tidak Tahun Kapan Dipanggil yang Kuasa

Saat mama saya meninggal, usia mama belum genap 48 tahun. Untuk ukuran keluarga saya, termasuk masih sangat muda. Keluarga saya termasuk salah satu keluarga yang diberi rezeki usia panjang.

Saya mengira mama saya akan panjang umur seperti nenek saya, yang hingga kini masih sehat wal afiat. Kalau pun tidak sepanjang usia nenek saya, setidaknya beliau meninggal setelah saya menikah dan memiliki anak-cucu. Namun ternyata, usia tidak ada yang tahu. Sebelum saya menikah pun, mama sudah keburu berpulang.

Saya termasuk lumayan dekat dengan mama. Meski begitu, setelah mama meninggal tetap ada sesal yang mengganjal. Saya menyesal, mengapa saya tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan mama.

Saya dulu hobi membaca, hobi menulis, juga hobi berkumpul bersama teman-teman –teman kerja, teman kuliah, teman sekolah. Alhasil, setiap ada waktu luang, terkadang lebih memilih untuk jalan-jalan bersama teman, membaca novel, atau menulis hal yang ingin saya tulis.

Dulu sehabis pulang kerja, saya lebih sering langsung masuk kamar, membaca novel –karena sudah terlanjur penasaran dengan lanjutan ceritanya. Terkadang mengobrol dengan mama hanya hitungan menit. Mengobrol sedikit lama, bila mama menjemput ke kantor karena saya pulang kemalaman. Biasanya di jalan kami mengobrol.

Sekarang hanya bisa berandai-andai. Padahal dulu tinggal saya buka pintu kamar, sudah terhubung dengan kamar mama yang letaknya persis di depan kamar saya. Atau jalan sedikit bisa ngerumpi dengan mama di ruang tamu sambil menonton televisi.

Sekarang kalau mau bertemu dengan mama, saya harus naik pesawat, disambung bus atau kereta. Setelah itu, saya harus rela menyusuri sungai, sawah, jalan yang terkadang tanahnya licin karena terkena air hujan. Itu pun yang saya temui hanya jasadnya yang sudah terkubur di dalam tanah. Bukan mama yang biasa tersenyum saat saya berbagi cerita lucu, atau marah saat saya menolak sarapan.

Sengaja saya menuliskan ini sebagai pengingat diri, agar saya tidak lupa untuk lebih menghargai orang terkasih yang masih ada. Kita tidak tahu kapan mereka dipanggil, atau (malah) kita yang dipanggil duluan. Salam! (*)

2 comments on “Ini Dua Momen Terberat Saat Orang Terkasih Berpulang

  1. Ikut berurai air mata membacanya, karena ingat bapat dan ibu waktu beliau meninggal… Al Fathekah buat orang-orang terkasih kita yang sudah tiada.

    1. Alfatihah. Semoga orang-orang yang kita kasihi diampuni segala dosa, dilapangkan kubur, dan dimasukan ke dalam surga. Aamiin. Terimakasih banyak Bu sudah berkenan berkunjung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *