Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Skill Bisa Dipelajari, Kekecewaan Pelanggan Sulit Diobati

Gambar diambil dari business.critizr.com

A*ua 1,5 liter ini hanya Rp5.000 ya.

Tanpa saya tanya, pemilik warung tersebut menyebutkan harga air minum kemasan tersebut. Ia sepertinya sengaja memberitahu saya karena ia tahu pasti harga air minuman serupa di warung sebelah –yang biasa saya kunjungi setiap kali membeli air minum dalam kemasan, dibanderol Rp6.000.

Ia sepertinya mau woro-woro, “di warung gue air minum kemasan yang biasa lo beli, lebih murah Rp1.000 lho.” Sebab, dua barang lain yang saya beli saat itu secara bersamaan tidak ia sebutkan harganya. Si pemilik warung itu hanya menyebutkan total harga, sambil ya itu tadi, menyebutkan harga si air minum kemasan.

Satu minggu terakhir ini saya memang rajin membeli air minum kemasan. Sebab, sedang mengincar botolnya untuk membuat prakarya anak, tugas dari sekolah. Saya sengaja membeli dari warung dekat rumah karena harganya lumayan lebih murah. Air minum kemasan itu kalau beli di mini market dekat rumah malah lebih mahal, harganya Rp6.8000. Kalau pilih yang dingin jadi Rp7.000.

Kalau di warung dekat rumah yang biasa saya kunjungi, mau yang dingin atau tidak harganya flat, Rp6.000. Sehingga, saya memilih membeli air minum kemasan tersebut di warung dekat rumah. Lumayan kan dapat yang dingin, dengan harga lebih terjangkau. 

Harga Jadi Pertimbangan, Namun Bukan yang Utama

Namun, saat si pemilik warung tersebut mempromosikan harga yang lebih terjangkau, saya hanya mengangguk dan tersenyum. Sama sekali tidak tertarik untuk serta merta pindah menjadi pembeli rutin di warung yang ia kelola. Saat ini, saya tetap memilih untuk menjadi pelanggan di warung sebelah yang hanya hanya berjarak dua atau tiga langkah dari warung tersebut.

Harga selalu menjadi pertimbangan saya saat berbelanja, tetapi bukan satu-satunya pertimbangan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan saat berbelanja di suatu tempat. Untuk saya pribadi, salah satu hal yang dapat mengalahkan harga yang lebih terjangkau, terlebih bila beda harganya tidak terlalu jauh, adalah pelayanan.

Bila tidak sangat terpaksa, saya malas berbelanja di warung yang harga A*ua 1,5 liter-nya lebih murah Rp1.000 itu. Dulu sempat beberapa kali berbelanja di warung tersebut, dan beberapa kali pula merasa tidak nyaman. Puncaknya saat saya membeli surat kabar harian lokal.

Saat itu ia menegur saya yang sedang memilih-milih koran. Ia segera meminta saya membayar koran yang sudah saya ambil. Padahal waktu itu saya berniat membeli lebih dari satu surat kabar. Dan, surat kabar kedua yang akan saya beli saya cari-cari tidak ada. Belakangan saya tahu memang belum dikirim oleh si agen.

Cara menegurnya menurut saya tidak sopan. Padahal saat itu saya pun tidak mengacak-ngacak koran yang dipajang, hanya berdiri, melihat koran yang saya cari. Sejak saat itu saya sebisa mungkin tidak berbelanja lagi di warung tersebut. Kalaupun terpaksa berbelanja, karena memang kepepet atau yang sedang berjaga bukan dia. Sekarang warung tersebut tidak lagi berjualan koran. Entah memang di stop oleh si agen, atau dia memang yang tidak lagi mau.

Namun pelayanannya tetap tidak lebih baik. Terakhir saat saya membeli air minum kemasan dan teman-temannya itu, tetap semau-mau dia. Saat saya membeli, ibu si pemilik warung itu sedang menelepon. Entah telepon penting atau bukan, tetapi saya sampai harus menunggu lumayan lama.

Padahal biasanya bila saya berbelanja di tempat lain dan si penjaga warung/toko sedang menelepon biasanya diutamakan yang berbelanja dulu. Terkadang telponnya ditutup, atau dia melayani sambil bertelepon ria. Kalaupun menunggu, karena mungkin ia sedang berkabar informasi yang lumayan penting, tidak terlalu lama.

Tak heran, bila saya perhatikan, warung sebelah itu lebih ramai. Ada saja pembeli yang mampir walaupun hanya beli satu dua barang (seperti saya). Saya tidak pernah langsung bertanya kepada si pembeli ataupun pemilik toko. Namun bila saya lihat-lihat, karena si penjual lumayan sigap.

Barang yang dibeli dimasukan ke kantong plastik yang memadai. Ia lihat-lihat barang yang dibeli apa, nanti disesuaikan. Ia bilang jangan sampai nanti barang yang dibeli berjatuhan karena kantong plastiknya robek di jalan. Selain itu, bila ada yang membeli koran ia biarkan sampai si pembeli membawa koran itu untuk dibayar.

Terserah mau lihat-lihat berapa lama juga. Terus kalaupun ada yang jatuh –karena korannya digantung beberapa buah dengan klip besar untuk penjepit kertas, ia tidak marah. Ia bilang koran yang jatuh tersebut bisa di simpan di atas tumpukan kardus yang ditata di depan warung, nanti biar dia yang membetulkan seperti semula.

Pembeli Memang Bukan “Raja”, Namun Tetap Mempengaruhi Bisnis Kita

Zaman sekarang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan peribahasa “pembeli adalah raja.” Penjual dan pembeli harus sama-sama saling menghormati dan menghargai. Meski begitu, pembeli tetap saja sedikit banyak akan berdampak pada bisnis yang sedang kita rintis dan kelola.

Mereka yang punya uang, apalagi sekarang tidak sulit mencari penjual yang menawarkan produk substitusi –bahkan yang menjual produk persis sama pun banyak. Selain itu, pembeli ke warung pun sekarang mah sudah tidak zaman lagi ngutang. Semua dibayar cash, tunai maupun non tunai. Sehingga saat mereka tidak nyaman berbelanja di tempat kita, biasanya beralih berbelanja ke tempat lain. Orang uang yang mereka punya, laku juga kok di warung sebelah hehe.

Selain warung itu, saya juga sempat memperhatikan mini market dekat rumah yang berjualan bersebelahan. Mini market yang satu ramai luar biasa, yang satu lagi sepi (luar biasa). Dulu saya mengira, mini market itu ramai karena ada mesin ATM, ada aneka jajanan rumahan yang lumayan lezat. Namun, setelah saya perhatikan. Pembeli di minimarket yang ramai itu tidak selalu membeli jajanan rumahan, tidak juga mengambil uang dulu di ATM.

Lalu suatu hari saya pernah berbelanja di mini market yang sepi itu. Waktu itu saya sedang buru-buru, dan harus membeli suatu barang. Lalu untuk menghemat waktu saya meminta tolong ke kasir mini market tersebut. Kebetulan selain kasir itu, tidak ada petugas lain. Saat saya bertanya menjual produk tersebut atau tidak si kasir itu hanya mendongakan dagu, menunjuk produk yang saya tanya.

Dia sama sekali tidak tergerak untuk membantu mengambilkan, atau setidaknya menunjukan dengan lebih ramah. Padahal produk tersebut lebih dekat dengan dia, di samping meja kasir, dan dia sedang tidak ngapa-ngapain. Waktu itu di mini market tersebut tidak ada pengunjung lain selain saya.

Pada waktu yang berbeda, saya pernah melakukan hal yang hampir sama ke kasir di mini market sebelah (yang sangat ramai pengunjung). Tanpa disangka, si kasir langsung pergi mengambilkan produk yang saya tanya. Dua jenis lagi biar saya bisa memilih lebih condong ke jenis yang mana.

Padahal jarak kasir ke tempat produk tersebut lumayan butuh usaha. Harus jalan dulu meninggalkan meja kasir. Selain itu, waktu itu saya sebenarnya hanya minta tolong ditunjukan. Biarlah saya ambil sendiri.

Sekarang mini market yang dulu sepi itu sudah lumayan ramai. Petugasnya juga sudah sangat ramah. Bila ada pengunjung yang kebingungan mencari lokasi rak suatu produk, dengan sigap membantu. Namun, karena sudah biasa berbelanja di mini market sebelah, tetap saja seringnya berbelanja di mini market sebalah hehe.

Jangan Mentang-mentang Sudah Laku, Menyepelekan Pelanggan Baru

Pelajaran terkait memperlakukan pelanggan dengan baik saya dapat juga dari salah satu penjahit dekat rumah. Tidak pernah bertanya secara langsung. Hanya saya tarik kesimpulan sendiri.

Dulu sekitar 2010, di dekat rumah ada dua penjahit yang membuka tempat jahit bersebelahan. Waktu itu saya baru pindah ke Batam. Tidak tahu mana satu yang lebih bagus. Namun, salah satu saudara suami menyarankan pilih yang sudah bapak-bapak. Jahitannnya rapi. Enak dipakai. Penjahit yang sebelah hasilnya rada berantakan.

Sesuai rekomendasi saya pilih penjahit yang sudah bapak-bapak itu. Waktu itu menyerahkan bahan yang mau dijahit, lalu bertanya berapa biayanya dan kapan bisa diambil. Sesuai kesepakatan beberapa waktu kemudian saya kembali lagi. Dan tahu tidak, bahan saya belum diapa-apakan. Masih teronggok dikantong plastik.

Itu terjadi beberapa kali. Setelah datang untuk kedua kali dan ternyata belum dikerjakan, saat itu langsung dikerjakan si sama bapak itu. Namun, lama-lama bete juga kan ya kalau seperti itu terus. Apalagi bila hanya memendekan rok, atau celana, yang mau dipakai cepat-cepat. Masa tidak jadi menggunakan rok atau celana itu hanya karena si penjahit lupa sama orderan.

Entah banyak yang kecewa seperti saya, entah apa. Saya perhatikan, lama-lama order jahitan bapak tersebut semakin berkurang. Sebaliknya, orderan penjahit sebelah semakin bertambah. Entah tahun berapa, saya tidak terlalu memperhatikan, kios jahitan si bapak itu kemudian tutup. Sekarang yang tersisa hanya penjahit sebelah. Hasil jahitan si penjahit sebelah juga sekarang sudah sangat rapi. Hanya saja, sekarang ia fokus hanya menerima vermak, tidak menerima jahitan pakaian dari awal.

Satu hal yang saya pelajari dari si penjahit ini. Keterampilan bisa diasah. Sekarang belum mahir, nanti lama-lama akan sangat mahir. Namun, kepercayaan pelanggan terkadang sulit dipulihkan. Sehingga, saat mereka percaya dengan jasa atau produk yang kita tawarkan, harus dijaga baik-baik. Salam! (*)

4 comments on “Skill Bisa Dipelajari, Kekecewaan Pelanggan Sulit Diobati

    1. Iya Mas Fauzi pasti kenal kok sama Mas Wahyu itu hehe. Iya, pelayanan yang bagus tetap yang utama. Terimakasih sudah menyempatkan berkunjung ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *