Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Ini Dampak Negatif Anak Tak Pernah Ditegur?

Ilustrasi. Foto dok raikankasih.com
Ilustrasi. Foto dok raikankasih.com

What the f*ck!

Kalimat tersebut meluncur dari anak perempuan berusia sekitar enam tahun yang sedang bermain di sebuah taman bermain. Sepertinya, ia mengucapkan kalimat itu karena kesal. Beberapa anak yang sedang bermain di playground tersebut enggan diajak bermain pasir bersama.

B*bi!

Belum habis rasa terkejut saya, tiba-tiba anak tersebut mengucapkan nama binatang yang diharamkan umat Islam sambil melemparkan segenggam pasir yang ia raup dari lantai taman. Pasir tersebut ia lemparkan ke beberapa anak yang sedang asik bermain – termasuk kepada anak saya.

Saat saya melongo, salah satu ibu – yang juga sedang menemani anaknya bermain bilang, anak tersebut memang seperti itu. Saat ada hal yang tidak berkenan, ia biasa mengeluarkan kata-kata kasar. Terkadang malah sambil melemparkan sesuatu, mulai dari pasir, tumbler, hingga sapu.

Ibu tersebut bilang, setiap kali ke taman bermain, anak tersebut selalu membawa sesuatu. Terkadang ia membawa mug, sesekali membawa sapu, bahkan anak tersebut pernah membawa setoples penuh gula putih untuk ia taburkan diatas pasir yang dibentuk seperti gunung.

Kata ibu itu, anak-anak yang sering bermain di playground tersebut sudah sangat paham dengan kelakuan anak itu, sehingga lebih memilih menjauh – membiarkan ia bermain dengan pasir dan perkakas yang dibawanya. Sementara mereka asik bermain ayunan dan jungkit-jungkit.

Membiarkan Bukan Tanda Cinta

Saya sudah hampir melupakan peristiwa tersebut, hingga pada suatu hari saya tak sengaja bertemu dengan salah satu teman yang saya kenal cukup baik. Diluar dugaan, teman saya itu menggandeng sayang anak yang membuat saya terkaget-kaget di taman bermain beberapa waktu lalu. Anak yang mengucapkan kalimat what the f*ck itu ternyata anak teman saya yang dikenal santun dan berpendidikan tinggi.

Setelah berlalu beberapa waktu, saya tahu dari teman yang lain, teman saya itu katanya terlalu sayang kepada anaknya sehingga dia tidak pernah melarang apapun yang dilakukan sang anak. Bahkan saat si anak melakukan perbuatan kurang terpuji. Bila ada yang menegur, orang tersebut yang malah ditegur oleh si orangtua.

Masih menurut teman saya itu, pernah suatu hari sang anak bermain sabun mandi hingga sabun yang tadinya penuh tersebut tandas tak bersisa. Melihat kamar mandi yang penuh sabun, si pengasuh kemudian menegur si anak secara baik-baik agar tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Namun bukannya mendapat dukungan dari orangtua si anak, si pengasuh malah dimarahi karena berani menegur si anak. Katanya hanya ia dan sang istri yang berhak menegur si anak — orang lain tidak boleh.

Padahal bagi saya pribadi, siapapun berhak menegur anak saya bila memang melakukan perbuatan yang kurang terpuji – apalagi bila merugikan orang yang menegur tersebut. Namun tentu saja harus dengan cara baik-baik. Menurut saya teguran merupakan tanda sayang. Apalagi bila dilakukan kepada anak-anak yang memang belum memiliki sense mana perbuatan baik dan mana perbuatan yang kurang baik. Bila tidak kita beri tahu mana yang baik dan tidak, anak belum tentu tahu. Apalagi kita tidak bisa 24 jam berada disamping anak.

Membiarkan anak melakukan semua perbuatan yang dia suka secara semena-mena, bukan tanda sayang, apalagi cinta. Justru malah menjerumuskan anak menjadi pribadi sulit – tidak bisa menerima saat segala sesuatu tak berjalan seperti yang ia harapkan. Padahal dalam hidup, belum tentu semua yang kita inginkan dapat kita dapatkan, belum tentu kondisi yang kita hadapi seperti yang kita harapkan, kita lah yang harus berdamai dengan beragam  situasi.

Setiap orang memang memiliki cara masing-masing mendidik anak, dengan kelebihan dan kekurangannya. Sebagai ibu, saya juga belum sempurna dalam mendidik anak. Akan tetapi sebagai sesama orangtua tidak ada salahnya bila saling mengingatkan. Yuk, sama-sama mengingatkan untuk lebih bijak mendidik anak. Salam! (*)

11 comments on “Ini Dampak Negatif Anak Tak Pernah Ditegur?

  1. Hai kak Cucum, Saya jadi mau curcol nih! Sewaktu awal punya anak, saya pengennya yang serba ideal gitu ya.. Ga marahin anak atau kebanyakan berkata “jangan” atau “tidak”. Ternyata kepribadian anak saya (alhamdulillah) agak sulit diatur. Akhirnya saya -dan suami- mengambil kesimpulan sendiri, bahwa harus disesuaikan juga dengan sikon, kami berusaha tegas demi kebaikannya kelak. Meski banyak tantangan juga sih, misalnya kedua orang tua saya yang kerap kali membela si cucu bila saya kebetulan sedang pulang ke Karimun.

    1. Iya seiring waktu saya juga sadar klo kita harus tau kapan tegas dan kapan longgar ke anak, kapan harus menegur dan memberi tahu, kapan membiarkan. Dulu saya juga maunya tidak mau terlalu keras ke anak, tp ternyata untuk hal tertentu kita harus tegas demi kebaikan anak. Makasih buat curcolnya mbak, makasih sudah mampir.

  2. Tetanggaku juga ada yang begini teh.. Anaknya berbuat nakal yang nakalnya ini kalo menurut aku udah ngerugiin orang lain. Hehehe.. Anak ini suka nyoret2 tembok rumah orang, trus ngidupin keran air rumah orang sampe halaman rumah orang itu banjir.. Waktu si anak ditegur, jawaban orang tuanya “namanya juga anak-anak…” Aku yang denger rasanya jadi ikutan gemes.

  3. Ya ampun, itu parah banget. Anak 6 tahun ngucapin kata-kata kasar. Parahnya lagi si orang tua membela kesalahan anaknya. Kelak pasti susah diatur dan cenderung merugikan orang lain.

  4. Sayang sekali ya teh..anak kalau terlalu dibiarkan memang akan bertindak sesuka hati. Dari kecil kalu sudah salah didik, besar nyya bisa jadi orangtuanya yang di “makan”nya.wallaahualam. Jangan sampai terjadi sama anak2 kita.

Leave a Reply to Lina W. Sasmita Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *