Cucum Suminar

Lifestyle, Parenting & Travelling Blog

Sepotong Saran untuk PAM Pulau Batam

img_0119

Tak ada yang meragukan kepedulian PT Adhya Tirta Batam (ATB) pada lingkungan sekitar. Secara berkala, Perusahaan Air Minum (PAM) yang mulai beroperasi sejak 1995 tersebut melakukan program tanggung jawab sosial perusahaan – atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR).

Tidak tanggung-tanggung, perusahaan yang dipimpin Benny Andrianto itu melakukan lima bidang CSR, mulai dari Pendidikan, Sosial, Kesehatan, Lingkungan, dan Olahraga. Melalui kegiatan tersebut, ATB tidak hanya merangkul para pelanggan, namun juga mengakomodir partisipasi dari generasi milenial dengan mengadakan program beasiswa dan lomba cerdas cermat.

Bila dibandingkan dengan CSR perusahaan air minum di kota lain, tanggung jawab sosial yang dilakukan ATB sudah cukup baik. Belum tentu ada PAM yang setiap Idul Adha rutin membagikan empat ekor sapi ke masjid-masjid, atau setiap Idul Fitri membagikan 100 paket sembako ke kaum dhuafa.

Jangankan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, PAM kota lain umumnya masih memutar otak agar menjadi perusahaan Sehat. Sudah menjadi rahasia umum, hampir setengah dari perusahaan air minum di Indonesia masih dalam kondisi Sakit atau Kurang Sehat.

PERBANYAK CSR UNTUK MENJAGA KETAHANAN AIR

Setiap tahun ATB sebenarnya sudah menyisihkan keuntungan mereka untuk membantu menjaga ketahanan air baku di Pulau Batam. Perusahaan yang memiliki tag line “Kepercayaan Anda di Setiap Tetesnya” tersebut secara rutin menanam 1.000 hingga 1.500 pohon di beberapa lokasi, mulai dari sekolah, fasilitas umum, hingga daerah tangkapan air Waduk Duriangkang.

Namun melihat kondisi air baku di Batam yang sedikit spesial karena hanya mengandalkan air hujan, ATB selaku penerima konsesi pengelolaan air bersih dari BP Batam (Otorita Batam) seharusnya lebih terlibat lagi dalam menjaga ketahanan air baku. Apalagi ATB merupakan satu-satunya pemegang konsesi untuk mengelola air bersih seluruh Pulau Batam secara penuh, mulai dari mengolah, mendistribusikan hingga melakukan penagihan.

Selama ini, perusahaan yang mendapat konsesi hingga 2020 tersebut terkesan hanya fokus membantu menjaga ketahanan air Waduk Duriangkang. Sejak rutin melakukan penanaman pohon pada 2011, ATB setidaknya sudah tiga kali secara khusus melakukan reboisasi di daerah resapan ar Waduk Duriangkang, sisanya melakukan penanaman pohon di sekolah dan fasilitas umum.

Sementara daerah resapan air untuk waduk lain seolah tidak pernah tersentuh. Padahal selain Duriangkang, pulau seluas 415 KM2 tersebut memanfaatkan empat waduk lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni Waduk Nongsa, Ladi, Sei Harapan dan Mukakuning.

Memang harus diakui, Waduk Duriangkang merupakan waduk terbesar di Batam. Waduk tersebut saat ini sangat diandalkan untuk memenuhi 70 persen kebutuhan air bersih di Pulau Batam. Meski demikian, bukan berarti empat waduk lain pantas “dianak-tirikan”. Apalagi waduk-waduk tersebut juga sudah memiliki alokasi pelanggan masing-masing. Sehingga, saat waduk tersebut terganggu tetap akan ada masyarakat yang menjadi korban.

Ada baiknya ATB juga mulai memperhatikan Waduk Nongsa, Ladi, Sei Harapan dan Mukakuning. Bila 1.000 pohon terlalu sedikit untuk ditanam di lima wilayah tangkapan air, ada baiknya di tambah. Apalagi setiap tahun jumlah pelanggan ATB selalu meningkat secara signifikan.

Jika alokasi dana CSR tidak memungkinkan untuk ditambah, sebaiknya perusahaan yang berkantor di Sukajadi itu mulai memikirkan untuk mengalihkan beberapa program CSR lain yang sudah ada untuk penanaman pohon atau program-program sejenis yang dapat membantu menjaga ketahanan air Pulau Batam, misalkan membuat program sejuta biopori – atau bila memungkinkan membantu BP Batam merevitalisasi waduk dengan melakukan pengerukan, penertiban bangunan liar atau pembersihan tanaman-tanaman yang mengancam kelangsungan air baku di waduk.

Daripada hanya membagikan empat ekor sapi kepada segelintir warga, atau mengadakan kejuaraan futsal yang menyedot biaya hingga ratusan juta, lebih baik dana CSR tersebut dialokasikan untuk membantu menjaga ketahanan air baku di Pulau Batam. Sehingga, manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Batam.

Apalagi krisis air bersih di Pulau Batam sudah di depan mata. Awal November 2016 lalu, Batam Pos bahkan sempat mengutip pernyataan Deputi IV BP Batam Robert Purba Sianipar yang memprediksi air bersih hasil olahan dari lima waduk di Pulau Batam hanya akan bertahan empat bulan kedepan bila curah hujan tak kunjung meningkat.

Berdasarkan artikel yang berjudul “Air Bersih Hanya Bertahan Empat Bulan” tersebut Robert menyatakan air baku di Batam berada di titik kritis karena daerah tangkapan air yang tidak lagi optimal, ditambah curah hujan di Batam yang terus menurun sejak lima tahun terakhir. Apalagi kondisi waduk juga belum sepenuhnya pulih akibat El Nino 2015.

Sebelumnya pada pertengahan 2016 lalu, media lokal Kota Batam juga sempat ramai memberitakan terkait persediaan air yang kian menipis, sampai-sampai Batam Pos sempat membuat jajak pendapat apakah masyarakat Batam percaya bahwa lima tahun kedepan pulau yang berbatasan dengan Singapura ini akan krisis air bersih.

Melalui survei yang berjudul “Jaga Batam dari Krisis Air” tersebut ada 67 persen responden yang percaya Batam akan mengalami krisis air bersih, sementara sisanya tidak percaya. Kemudian, 67 persen responden juga menyatakan perlu ada evaluasi pengelolaan air bersih agar Batam terhindar dari krisis air, sementara 33 persen responden menyatakan tidak perlu.

PERLU KERJASAMA BERBAGAI PIHAK

Air baku memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini BP Batam. Namun ATB selaku operator tunggal air bersih di Pulau Batam, sudah seharusnya terlibat untuk menjaga ketahanan air di Batam. Apalagi ATB mengelola air secara keseluruhan – tidak parsial seperti beberapa PAM swasta lain di Indonesia.

Belum lagi air baku yang dibeli ATB dari BP Batam juga sangat rendah (baca: murah). Perusahaan yang memiliki pelanggan lebih dari 250 ribu tersebut hanya membeli air baku Rp150/m3, sementara air yang sudah diolah tersebut dijual dengan harga Rp700 hingga Rp50.000/m3 kepada pelanggan.

Ada baiknya kedepan, alokasi dana ATB untuk membantu menjaga ketahanan air baku Batam ditentukan berdasarkan presentase dari keuntungan perusahaan, terlebih CSR merupakan suatu kewajiban moral bagi setiap perusahaan – meski hal tersebut mungkin tidak tertuang dalam konsesi antara ATB dengan BP Batam (Otorita Batam).

Bila bukan ATB yang membantu BP Batam menjaga ketahanan air baku di Batam lebih lama, lantas siapa lagi? Apalagi ATB yang sangat berkepentingan dengan air baku, setidaknya hingga konsesi berakhir. Tanpa air baku yang cukup, sehebat apapun PAM tersebut, tidak akan bisa melayani pelanggan dengan baik.

Selain ATB dan BP Batam, pihak lain juga harus terlibat agar Batam terhindar dari krisis air bersih. Bila memungkinkan, Pemerintah Kota Batam bersama BP Batam dan ATB ada baiknya mulai mengkoordinir pihak swasta dan masyarakat umum agar lebih terlibat dalam upaya menjaga ketahanan air di Batam.

Ingat, air merupakan urat nadi suatu kota. Tanpa air yang memadai mustahil suatu peradaban dapat berkembang dengan baik – tak terkecuali Batam. Jangan sampai krisis air bersih melanda Batam. Sebelum menyesal, yuk, kita bersama-sama menjaga air bersih di Batam bertahan lebih lama! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *